BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Hadits merupakan sumber hukum utama bagi umat Islam setelah
Alqur’an, ia berfungsi sebagai landasan hukum serta ajaran-ajaran yang terdapat
dalam Alqur’an. Sulit membayangkan jika hanya Alqur’an saja yang dipahami dan
didekati tanpa melalui hadits. Karena itulah hendaknya perhatian umat Islam
terhadap hadits sejalan dengan perhatian mereka terhadap Alqur’an.
Mata kuliah Ulumul Hadits adalah salah satu bahan kuliah yang
berhubungan tentang hadits maupun sunnah nabi Muhammad SAW. yang dimulai dari
pengertian hadits atau sunnah, sejarah perkembangan hadits dimasa Rasulullah
SAW. masa Khulafaur Rasyidin, masa sahabat disertai pengumpulan dan pembukuan
hadits, serta cabang-cabang ilmu yang berhubungan dengan mempelajari ilmu-ilmu
hadits (seperti rijalul hadits, jarh wa at-ta’dil, dan lain-lain), tingkatan
hadits, macam-macam pembagian hadits, riwayat tokoh-tokoh ilmu hadits, dan
lain-lainnya.
Ilmu hadits
merupakan suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui betul tidaknya ucapan,
perbuatan, keadaan atau lain-lainnya, yang ahli hadits katakan berasal dari
Nabi Muhammad SAW.
Sanad menurut
bahasa artinya “sandaran”,atau tempat kita bersandar. Menurut istilah ahli
hadits, sanad diartikan dengan “jalan yang menyampaikan kita kepada matan
hadits”. Misalkan, seorang perawi berkata, “dikabarkan kepadaku oleh Malik
yang menerimanya dari Nafi’, yang menerimanya dari Abdullah ibn Umar, bahwa
Rasulullah bersabda….”, maka perkataan perawi tersebut “dikabarkan kepadaku
oleh Malik…” sampai dengan “bersabda Rasul,” dinamakan dengan isnad. Isnad yaitu
menerangkan sanad hadits (jalan menerima hadits) atau menghubungkan hadits
kepada orang yang meriwayatkan sebagai sandaran[1],
orang yang menerangkan hadits dengan menyebut sanadnya disebut musnid,
sedangkan hadits yang disebut dengan diterangkan sanadnya yang sampai kepada
Nabi SAW. dinamai musnad.
Matan mengandung arti “materi pembicaraan (teks/isi hadits) yang berada
setelah penyebutan sanad”. Matan dalam ilmu Hadits ditujukan kepada
lafadz-lafadz dan omongan yang terletak sesudah rawi dari akhir sanad[2].
Salah satu pembahasan yang akan dikaji disini adalah mengenai
tingkatan hadits dari segi bilangan ruwah (jumlah orang yang
meriwayatkannya) atau dikenal juga dengan kuantitas (jumlah) perawi/sanad, yang
menurut ulama salaf dibagi tiga macam, yaitu[3]:
1.
Hadits
mutawatir
2.
Hadits
masyhur, dan
3.
Hadits
ahad.[4]
Jika memiliki jalur (sanad) yang jumlah perawinya tidak terbatas
pada bilangan yang pasti disebut hadits mutawatir. Sedangkan jika
memiliki jalur (sanad) yang jumlah perawinya bisa dihitung dengan bilangan
tertentu disebut hadits ahad.[5]
Dari segi pertalian sanad, membagi hadits kepada empat tingkat,
yaitu:
a.
Hadits-hadits
mutawatir
b.
Hadits-hadits
masyhur, atau hadits-hadits mustafidh
c.
Hadits-hadits
ahad (hadits-hadits khashshas) yang bersambung-sambung sanadnya.
d.
Hadits-hadits
yang dalam rangkaian sanadnya ada yang gugur tidak bersambung-sambung, yakni
hadits-hadits mursal, munqathi’, dsb.
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis akan membahas
tentang “Klasifikasi Hadits Secara Kuantitas”, semoga dengan pembahasan
ini dapat bermanfaat dan berguna bagi penulis khususnya serta bagi mahasiswa
mahasiswi pascasarjana yang mengambil mata kuliah Ulumul hadits pada umumnya.
1.2 Rumusan Masalah
Yang menjadi rumusan masalah yang akan dikaji meliputi:
1.2.1
Apa
pengertian hadits mutawatir, masyhur, dan ahad serta apa saja pembagiannya?
1.2.2
Apakah
konsekuensi dari pengingkaan hadits mutawatir, masyhuur dan ahad?
1.2.3
Kenapa
ada perbedaan pendapat ulama tentang kehujjahan hadits ahad?
1.2.4
Bagaimana
kehujahan hadits ahad dalam persoalan aqidah?
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan
untuk:
1.
Mengetahui
macam-macam hadits ditinjau dari segi kuantitasnya terdiri dari hadits
mutawatir, Ahad, dan masyhur,
2.
Mengetahui
konsekuensi pengingkaran dari hadits mutawatir, ahad, dan masyhur.
3.
Mengetahui
perbedaan pendapat ulama tentang kehujjahan hadits ahad.
4.
Mengetahui
kehujjahan hadits ahad dalam persoalan aqidah.
1.4
Manfaat Penulisan
Penulisan makalah ini adalah agar kita dapat mengetahui klasifikasi
hadits dari segi kuantitasnya, sehingga nantinya kita nantinya lebih dapat
memahami macam-macam hadits tersebut, serta hal-hal yang berhubungan dengan
pengingkaran dan kehujjahan hadits tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Klasifikasi Hadits Secara Kuantitas
Ulama berbeda pendapat tentang
pembagian hadits yang ditinjau dari segi kuantitas ini. Maksud dari segi
kuantitas disini adalah dengan menelusuri jumlah para perawi yang menjadi
sumber adanya suatu hadits. Para ahli ulama ada yang mengelompokkan menjadi tiga
bagian, yaitu hadits mutawatir, masyhur, dan ahad, ada juga yang
membaginya hanya dua saja yaitu hadits mutawatir, dan ahad.
Pendapat pertama yang menjadikan
hadits masyhur berdiri sendiri dan tidak termasuk bagian dari hadits ahad,
dianut oleh sebagian ahli ushul, salah satunya Abu Bakar Al-Jassas (305-370 H).
Pendapat kedua diikuti oleh kebanyakan ulama ushul dan ilmu kalam, menurut
mereka hadits masyhur bukan merupakan hadits yang berdiri sendiri, akan tetapi
hanya bagian dari hadits ahad, sehingga mereka membaginya menjadi dua macam
saja yaitu mutawatir dan ahad[6].
Menurut Mahmud Thahhan, ditinjau
dari segi kuantitas (jumlah) perawi/ sanadnya, maka Hadits terbagi menjadi 2
macam[7]:
1.
Jika
memiliki jalur (sanad) yang jumlah perawinya tidak terbatas pada bilangan yang
pasti, maka disebut dengan Hadits Mutawatir.
2.
Jika
memiliki jalur (sanad) yang jumlah perawinya bisa dihitung dengan bilangan
tertentu, disebut dengan Hadits Ahad.
Kedua macam hadits diatas
masing-masing mempunyai pembagian dan rinciannya tersendiri.
2.2 Pengertian Mutawatir, Masyhur, Ahad
Dan Pembagiannya
2.2.1
Pengertian
Hadits Mutawatir serta Pembagiannya
Kata
mutawatir menurut lughah ialah mutatabi
yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.
Sedang menurut istilah adalah “suatu hadits yang dapat ditangkap panca
indera dan diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan, mereka
mustahil berkumpul dan bersepakat untuk dusta”. Pengertian ini
mengecualikan 2 hal. Pertama, segala berita yang diriwayatkan dengan
tidak bersandar pada panca indera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat
manusia, tidaklah terkategori terhadap hadist ini. Kedua, berita yang
dapat diindera dan diriwayatkan oleh perawi yang banyak tetapi mereka
dimungkinkan untuk berserikat dan membuat hadist dusta, juga tidak bisa
dimasukkan menjadi hadist ini.
Tentang
seberapa banyak perawi yang dimaksud dalam pengertian hadist ini, masih belum
ada ketentuan yang jelas. Sehingga menimbulkan perselisihan para ulama’ tentang
seberapa banyak jumlah perawi agar suatu hadist bisa dikatakan mutawatir. Namun
meski berbeda pendapat, masing-masing ulama’ memiliki argumentasi yang
berbeda-beda sesuai dengan pemahamannya masing-masing.
Diantaranya, Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang, hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim. Sedangkan Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5 orang, hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi. Sebagian ulama yang lain menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang, hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65). Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang.[8] Namun pendapat yang benar adalah semua batasan jumlah ini tidak dapat menjamin sepenuhnya, melainkan yang sangat dipertimbangkan adalah adanya suatu keyakinan atas kebenaran berita tersebut.
Diantaranya, Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang, hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim. Sedangkan Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5 orang, hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi. Sebagian ulama yang lain menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang, hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65). Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang.[8] Namun pendapat yang benar adalah semua batasan jumlah ini tidak dapat menjamin sepenuhnya, melainkan yang sangat dipertimbangkan adalah adanya suatu keyakinan atas kebenaran berita tersebut.
Diantara
contoh hadits mutawatir adalah hadits[9]:
مَنْ
كَذَ بَ عَلَيً مُتَعَمـدا فليتبوأ مقعده من النار.
Artinya:
“Barangsiapa berbuat dusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia
menempati tempat tinggalnya di neraka” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits
ini diriwayatkan dari Nabi SAW. dengan redaksi yang sama oleh 70 orang sahabat
lebih.
Menurut
Syaikh Manna’ Al-Qaththan[10],
mutawatir menurut bahasa adalah isim fa’il dari at-tawatur yang artinya
berurutan. Menurut istilah, mutawatir adalah “apa yang diriwayatkan oleh sejumlah
banyak orang yang menurut kebiasaan mereka terhindar dari melakukan dusta mulai
dari awal hingga akhir sanad”. Atau “hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang
banyak pada setiap tingkatan sanadnya menurut akal tidak mungkin para perawi
tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadits, dan mereka bersandar
dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat diketahui dengan indera seperti
pendengaran dan semacamnya”.
Sedangkan
menurut Zeid B. Smeer[11],
hadits mutawatir adalah “hadits yang diriwayatkan dari kelompok ke kelompok
pada tiap tataran (thabaqoh) dengan jumlah perawi yang banyak, sehingga
akal menyatakan mustahil mereka sepakat untuk bohong, dan proses tersebut dapat
diindera oleh panca indera”.
Ø
Syarat-syarat
Hadits Mutawatir
Berdasarkan berbagai definisi diatas, menurut ulama mutaakhirin,
ahli ushul, bahwa suatu hadits dikatakan mutawatir apabila telah
memenuhi empat syarat berikut[12]:
1.
Diriwayatkan
oleh sejumlah besar perawi. Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan jumlah
minimalnya dan menurut pendapat yang terpilih minimal 10 perawi[13].
Menurut ulama yang tidak mensyaratkan jumlah tertentu, yang penting dengan
jumlah itu, menurut adat, dapat memberikan keyakinan terhadap apa yang
diberitakan dan mustahil mereka bersepakat untuk berdusta[14].
2.
Perawi
yang banyak ini harus terdapat dalam semua thabaqat (generasi) sanad
atau adanya keseimbangan antar perawi pada thabaqat pertama dengan thabaqat
berikutnya.
3.
Secara
rasional dan menurut kebiasaan (adat), para perawi tersebut mustahil sepakat
untuk berdusta.
4.
Sandaran
beritanya adalah panca indera dan ditandai dengan kata-kata yang digunakan
dalam meriwayatkan sebuah hadits, seperti: kata سمعنا (kami telah mendengar), رأينا (kami telah melihat), لمسنا (kami telah menyentuh), dan sebagainya.
Jika sandaran beritanya adalah akal semata, seperti: pendapat tentang alam
semesta yang bersifat huduuts (yang baru), maka hadits tersebut tidak
disebut hadits mutawatir.
Ø
Pembagian
Hadits Mutawatir
Menurut sebagian ulama, hadits mutawatir itu terbagi menjadi dua
bagian, yaitu mutawatir lafzhi dan mutawatir ma’nawiy[15].
Ada juga yang membaginya menjadi tiga bagian dengan menambah hadits mutawatir
‘amaliy[16].
1.
Mutawatir
Lafzhi, adalah hadits mutawatir yang berkaitan dengan lafad perkataan Nabi SAW.
Artinya perkataan Nabi yang diriwayatkan oleh orang banyak kepada orang banyak.
Contohnya:
مَنْ كَذَ بَ عَلَيً مُتَعَمـدا فليتبوأ مقعده
من النار.
Artinya: “Barangsiapa
berbuat dusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menempati tempat
tinggalnya di neraka” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits
ini diriwayatkan oleh 70 orang sahabat.
2.
Mutawatir
ma’nawiy, adalah hadits mutawatir yang menyangkut amal perbuatan nabi SAW.,
atau beberapa hadits yang bisa jadi riwayatnya tidak mutawatir namun jika
riawayat tersebut dikumpulkan maka terdapat satu makna yang sama[17].
Contohnya hadits tentang nabi SAW. yang mengangkat kedua tangannya ketika
berdo’a:
قال أبو موسى
الأشعري دعا النبي صلى الله عليه وسلم ثم رفع يد يه ورأيت بياض ﺇبطيه
“Abu Musa al-Asy’ari berkata: Nabi SAW.
berdo’a kemudian dia mengangkat kedua tangannya dan aku melihat putih-putih
kedua ketiaknya” (HR. Bukhari).
Hadits seperti ini diiwayatkan dari Nabi SAW.
berjumlah sekitar 100 hadits dengan redaksi yang berbeda-beda, tapi mempunyai
persamaan, yaitu keadaan Nabi SAW. mengangkat tangan saat berdo’a.
3.
Mutawatir
‘amali, adalah sesuatu yang dketahui dengan mudah bahwa dia termasuk urusan
agama dan telah mutawatir antara umat Islam, bahwa nabi SAW. Mengerjakannya,
menyuruhnya, atau selain dari itu, dan pengertian ini sesuai dengan ta’rif
ijma’. Hadits mutawatir ‘amali ini banyak jumlahnya, seperti hadits yang
menerangkan waktu shalat, raka’at shalat, shalat jenazah, shalat ‘id, tata cara
shalat, pelaksanaan haji, kadar zakat harta, dan lain-lain.
2.2.2
Pengertian Hadits Masyhur dan Pembagiannya
Al-syuhrah (kemasyhuran)
secara etimologis berarti tersebar dan tersiar. Adapun pengertian Al-syuhrah, dalam kaitannya dengan
hadits masyhur menurut kebanyakan
ahli hadits yaitu “hadits masyhur adalah hadits yang memiliki sanad terbatas
yang lebih dari dua atau sekurang-kurangnya diriwayatkan oleh tiga orang”[18].
Hadits masyhur, yang disambut baik oleh ulama abad ke-2 dan ke-3
serta telah terkenal baik diantara mereka, walaupun dipandang sebagai hadits ahad
namun ulama Hanafiyah menjadikannya lebih tinggi daripada hadits ahad yang ain
yang tidak masyhur. Mereka menjadikan hadits masyhur diantarahaits mutawatir
dan ahad. Ulama Hanafiyah mentakhsiskan Alqur’an dengannya dan menambah
hukum-hukum yang tidak terdapat dalam Alqur’an dengannya. Hadits ahad yang lain
tidak diberikan fungsi ini.
ØHadits masyhur dari segi diterima atau ditolak, dibagi menjadi 3
bagian, yaitu shahih, hasan, dan dha’if. Contoh hadits masyhur yang shahih
adalah[19]:
ﺇنما لأعمال
باالنيات.
“Bahwasanya segala amal itu dengan niat”.
Hadits ini termasuk muttafaq ‘alaih (disetujui keshahihannya
oleh Bukhari dan Muslim).
Contoh hadits masyhur yang hasan:
لاضرر
ولا ضرار.
“Tidak boleh
membiarkan bahaya datang dan tidak boleh mendatangkan bahaya”.
Hadits ini diriwayatkan dari nabi SAW,
melalui banyak sanad yang dapat menempatkannya dalam derajat hasan atau shahih.
Hadits ini dinilai hasan oleh al-Nawawi dalam kitab al-Arba’in.
Contoh hadits masyhur yang dha’if:
أطلبوا
العم ولو بالصين.
“Carilah ilmu
walaupun ke negeri China”.
Hadits ini
diriwayatkan melalui banyak sanad dari Anas dan Abu Hurairah, namun semua
sanadnya tidak terbebas dari rawi yang cacat (majruh) dengan pencacatan (jarh)
yang cukup serius. Oleh karena itu, hadits diatas merupakan bagian dari hadits
masyhur yang dha’if.
ØDari segi lingkungan tersiar atau tersebarnya (tempat
kemasyhurannya), maka hadits masyhur terbagi menjadi banyak bagian, antara
lain:
1. Hadits masyhur dikalangan ahli
hadits saja.
2. Hadits masyhur dikalangan
Muhadditsin, ulama lain serta masyarakat umum.
3. Hadits masyhur dikalangan fuqaha.
4. Hadits masyhur dikalangan ahli
ushul fiqh.
5. Hadits masyhur dikalangan ulama
ahli bahasa Arab.
6. Hadits masyhur dikalangan ahli
pendidikan.
7. Hadits masyhur dikalangan umum.
2.2.3
Pengertian
Hadits Ahad dan Pembagiannya
Hadits Ahad adalah “hadits yang periwayatannya
tidak mencapai jumlah banyak orang, hingga tidak mencapai mutawâtir”. Hadits
Ahad yang ditinjau dari segi jumlah perawi dalam sanadnya, dibagi menjadi 3 macam,
yaitu:
1.
Hadits gharib
2.
Hadits ‘aziz
3.
Hadits masyhur, disebut juga al-Mustafidh.
Bila
hadits ahad yang diriwayatkan oleh satu orang pada setiap jenjangnya maka
dinamakan hadits gharîb. Bila diriwayatkan oleh dua orang pada setiap
jenjangnya disebut dengan Hadits 'Azîz. Sedangkan Hadits Ahâd yang
diriwayatkan oleh tiga orang perawi namun tidak mencapai derajat mutawatir
disebut Hadits Masyhûr. Jadi, Hadits Ahâd itu hadits yang tidak sampai
pada syarat-syarat mutawatir.
Hadits gharib ditinjau dari segi
sifat penyendiriannya, terbagi menjadi gharib mutlak dan gharib nisbi.
Gharib mutlak yaitu bilamana kesendirian (gharabah) periwayatan terdapat pada
asal sanadnya (sahabat). Sedangkan gharib nisbi adalah apabila keghariban
terjadi pada pertengahan sanadnya bukan pada asal sanadnya.
Ø Salah satu contoh hadits masyhur[20]:
ﺇن الله لا
يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من العباد.
Artinya:
“Sesungguhnya Allah tidak akan menggenggam ilmu pengetahuan dengan mencabutnya
dari para hamba”.
Hadits
ini diriwayatkan oleh al-Syaikhan (Bukhari dan Muslim), Turmudzi, Ibnu Majah,
dan Ahmad.
Ø Contoh hadits ‘aziz yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari
Anas dan diriwayatkan Buhari dari Abi Hurairah:
لا يؤمناحدكم
حتى اكون أحب ﺇليه من ولده ووالده والناس أجمعين.
Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah
SAW, bersabda:Tidaklah beriman seseorang diantara kamu, sehingga aku lebih
dicintai daripada dirinya sendiri, orang tuanya, puteranya dan manusia
semuanya”.
Ø Contoh hadits gharib mutlak pada hadits Nabi SAW[21].:
الولاء لحمة كلحمة السنب لايباع ولايوهب.
Artinya:
“Kekerabatan dengan jalan memerdekakan, sama dengan kekerabatan dengan nasab,
tidak boleh dijual dan tidak boleh dihibahkan”.
Hadits
ini diterima dari Nabi SAW, oleh Ibnu Umar dan dari Ibnu Umar hanya Abdullah
ibnu Dinar saja yang meriwayatkannya. Abdullah ibnu Dinar adalah seorang tabi’i
yang dapat dipercaya.
Ø Contoh gharib nisbi pada hadits Malik dari Zuhri dari Anas r.a
bahwa “Nabi SAW. masuk kota Makkah dengan mengenakan penutup kepala diatas
kepalanya”. Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Malik dari Zuhri, dinamakan
dengan gharib nisbi karena kesendirian periwayatan hanya terjadi pada perawi
tertentu.
2.3 Konsekuensi Pengingkaran Hadits
Mutawatir, Masyhur, dan Ahad
Pengingkaran
adanya ijma tentang keshahihan hadits tidak mempunyai dasar. Umat Islam telah
sepakat tentang keshahihan hadits yang termuat dalam Shahih Bukhari dan Shahih
Muslim, dan mereka menerimanya dengan baik. Para ulama juga telah
menegaskan kedudukan kedua kitab ini sebagai kitab yang paling shahih setelah
Al-Qur'an. Tidak ada satu orang pun yang mengingkari hal ini, kecuali Harun[22]
dan yang sehaluan dengannya. Penolakan ini tidak berpengaruh pada ijma atas
keshahihan hadits dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Pengingkarannya
yang bersifat umum itu jauh dari sikap jujur dan objektivitas yang merupakan
ciri penelitian ilmiah. Bagaimana mungkin ia menggeneralisasi pengingkaran,
padahal tidak ada yang mengingkari, kecuali dirinya dan orang yang sepemikiran
dengannya. Sikap menggeneralisasi ini tidak dapat diterima dan sekaligus bukti
bahwa murid-murid kaum orientalis tidak memiliki objektivitas seperti yang
mereka klaim.
Tuduhannya
bahwa hadits berbeda dengan Al-Qur'an yang merupakan wahyu Allah juga tidak
bisa diterima. Alasannya, sabda Rasulullah saw. adalah wahyu, sesuai firman
Allah yang artinya sebagai berikut. "Dan tiadalah yang diucapkan itu
(Al-Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan kepadanya." (An-Najm: 3-4). Beliau ditugaskan
untuk menyampaikan sunnahnya, seperti ia ditugaskan untuk menyampaikan
Al-Qur'an.
Simpulan
Harun bahwa kedudukan hujjah sunnah tidak seperti hujjah Al-Qur'an dari segi
kekuatan, kadang-kadang dapat diterima jika ia berdiri sendiri. Namun,
introduksi yang ia sampaikan sama sekali keliru. Sunnah adalah hujjah, seperti
halnya Al-Qur'an dan menempati posisi sumber hukum kedua. Ia juga independen
dalam penetapan syariat. Kedudukan hujjah sunnah dibuktikan oleh nash Al-Qur'an
itu sendiri. Allah SWT berfirman, "Apa yang diberikan Rasul kepadamu,
maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah."
(Al-Hasyr: 7).
Hadits
ahad atau juga populer dengan sebutan khabar wahid ialah hadits yang tidak sampai
ke tingkat mutawatir. Secara ilmiah, ulama hadits membagi hadits berdasarkan
jumlah perawinya menjadi dua bagian: hadits mutawatir dan hadits ahad. Hadits
mutawatir ialah hadits yang diriwayatkan
oleh para rawi dalam jumlah besar orang yang tidak memungkinkan mereka
bersepakat untuk berdusta. Hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir disebut
dengan khabar wahid.
Perlu
diketahui, keshahihan suatu hadits tidak bergantung pada banyak sedikitnya
jumlah rawi. Faktor penentu dan utama sebuah hadits dikategorikan shahih atau
tidak adalah kualitas atau kredibilitas perawi, apakah dia seorang terpercaya
(tsiqah) atau seorang tertuduh berdusta. Ketika satu hadits diriwayatkan oleh
sedikit orang, atau katakan satu orang saja, ia tidak otomatis telah dikategorikan
dha'if (lemah). Di bawah hadits ahad itu terhimpun tiga jenis hadits: masyhur,
'aziz, dan gharib. Jadi, apabila termasuk ahad, sebuah hadits tidak langsung
berarti diriwayatkan oleh satu orang perawi saja.
Para ulama
sepakat bahwa kedudukan hadits ahad sebagai hujjah harus diamalkan. Akan
tetapi, mereka berbeda pendapat terhadap simpulan yang dihasilkan hadits ini.
Para ahli fikih dan mayoritas ahli hadits berpandangan bahwa hadits ahad yang
diriwayatkan oleh perawi yang berintegritas baik adalah hujjah yang harus
diamalkan dalam masalah agama, tetapi tiak memberikan simpulan yang bersifat
pasti (ilmul yaqin). Sebagian ahli hadits, seperti Imam Ahmad bin Hambal,
bersimpulan bahwa hadits ahad juga memberi simpulan yang bersifat pasti.
Pendapat ini juga disebutkan dari Imam Malik.[23]
Apa pun
persoalannya, dapat dikatakan bahwa hadits ahad menurut ulama adalah dapat
dipercaya. Ia dirujuk dalam menentukan halal dan haram dan mereka
menggolongkannya sebagai salah satu sumber syariat.
Pada abad
kedua Hijriah muncul segelintir orang yang berbeda pendapat dari ijma
(kesepakatan) umat dan mengingkari kedudukan hadits ahad. Sebagian lagi
bersikap berlebih-lebihan sampai tingkat mengingkari kedudukan hadits-hadits
mutawatir. Al-Baghdadi menjelaskan dalam bukunya Al-Farq Baina al-Firaq
bahwa mereka itu adalah kaum Mu'tazilah. Ia berkata, "Sesungguhnya
An-Nazzham (230 H) berkata bahwa hadits mutawatir meskipun diriwayatkan oleh
banyak perawi bisa saja terdapat kedustaan di dalamnya."[24]
Ibnu Hazm
menguatkan perkataan Al-Baghdadi, "Seluruh kaum Muslimin menerima
hadits ahad yang diriwayatkan perawi yang bisa dipercaya dari Nabi saw. Hal ini
terus berlangsung dan diterima oleh berbagai kalangan, seperti Ahluss Sunnah,
Khawarij, Syi'ah, dan Qadariyah sehingga muncullah para ulama Mu'tazilah
setelah berlalu satu abad. Maka, mereka menyalahi ijma dalam masalah ini."[25]
Dari sisi
lain, Harun mengklaim bahwa yang disepakati kehujjahannya hanya hadits
mutawatir, sedangkan hadits masyhur dan ahad kedudukannya dipertentangkan. Ia menulis,
"Yang disepakati semua golongan umat Islam untuk dapat dipakai sebagai
sumber hukum adalah hadits mutawatir. Hadits masyhur dan ahad ada yang mau
menerimanya dan ada pula yang tidak mau menerimanya, golongan Mu'tazilah
umpamanya."
Kita
katakan bahwa tuduhan ini sebenarnya bukan hal baru. Seperti kita ketahui,
tuduhan ini sudah muncul sejak lama. Imam Syafi'i telah berhadapan dengan
pendukung pendapat ini pada abad kedua Hijriah, berdebat langsung dengan
orang-orang yang mengingkari kedudukan hujjah hadits ahad dan membantah mereka
dengan argumentasi ilmiah, baik bersifat naql dari Al-Qur'an dan sunnah maupun
akal.
Perdebatan
ini terdokumentasikan dalam bukunya, Ar-Risalah. Sayangnya, Imam Syafi'i
tidak menyebutkan identitas orang yang didebatnya, dan dari kelompok mana
mereka berasal. Namun, beliau menyebutkan bahwa mereka tinggal di Bashrah, dan
kebanyakan para ahli ilmu kalam itu, termasuk di dalamnya Mu'tazilah, saat itu
berada di Bashrah.
Di tempat
lain, Al-Hafidz al-Hazimi mengungkapkan bahwa orang yang mengingkari adalah
kaum Mu'tazilah, dengan menegaskan bahwa hal ini dimaksudkan untuk
menghancurkan hukum karena kebanyakan hukum syariat ditetapkan berdasarkan
hadits-hadits ahad. Jika berargumentasi dengan hadits-hadits ahad itu dianggap
tidak sah, dengan sendirinya hukum-hukum syariat dianggap tidak sah pula.
Al-Hazimi berkata, "Saya tidak pernah mendengar seorang pun dari firqah
(aliran) Islam yang mempersoalkan keberadaan hadits ahad, kecuali kalangan
Mu'tazilah. Mereka menganalogikan (menyamakan hukum) riwayat dengan kesaksian
...." Sasaran mereka adalah meruntuhkan hukum-hukum syariat, seperti
dikatakan Abu Hatim bin Hibban."[26]
Imam Syafi'i yang bergelar "Nashir as-Sunnah" (Pembela Sunnah)
mengemukakan beberapa dalil yang menunjukkan bahwa hadits ahad adalah hujjah
dan menantang para pengingkarnya. Beberapa pembelaannya antara lain sebagai
berikut.
1.
Abdullah bin Mas'ud r.a. meriwayatkan bahwa Nabi saw.
bersabda, "Semoga Allah mencerahkan wajah hamba-Nya yang mendengar
sabdaku, menghafal, memahami, dan menyampaikannya. Bisa saja orang yang
meriwayatkan tidak paham apa yang diriwayatkannya, mungkin saja orang yang
mendengar lebih paham dari perawi yang meriwayatkannya."
2. Imam Syafi'i menjelaskan segi
argumentasi hadits ini, "Rasulullah saw. memotivasi seseorang untuk
mendengar, menghafal, dan menyampaikan sabdanya”. Kata "seseorang"
di sini artinya satu. Ini menunjukkan bahwa Nabi memerintahkan satu orang untuk
menyampaikan apa yang terkait dengan halal, haram, hukuman yang harus
dilaksanakan, harta yang harus diambil dan diberikan, dan nasihat soal agama
dan dunia. Berarti, berita dari satu orang adalah hujjah." (Imam Muhammad
bin Idris asy-Syafi'i (150-204 H), Ar-Risalah, tahqiq Syaikh Ahmad
Syakir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hlm. 402-403).
3. Diriwayatkan dari Abu Rafi' bahwa Nabi saw.
bersabda, "Aku tidak sekali-kali mendapat salah seorang dari kalian yang
duduk di atas tempat duduknya, lalu datang urusanku yang berkaitan dengan yang
aku larang atau aku perintahkan, lalu ia berkata, 'Kami tidak tahu. Apa yang
kami dapati dalam kitab Allah itulah yang kami ikuti'." (R Al-Hakim).
Argumentasi
hadits, seperti disebutkan Imam Syafi'i, adalah "Bahwa berita dari
Rasulullah saw. harus dilaksanakan, meskipun mereka tidak menemukan nash dalam
kitab Allah."[27]
Diriwayatkan
dari Ibnu Umar r.a., ia berkata, "Ketika orang berada di Quba' untuk
melaksanakan shalat shubuh, seseorang datang dan berkata, 'Sesungguhnya telah
turun ayat Al-Qur'an kepada Rasulullah saw., dan ia diperintahkan untuk
menghadap kiblat ke Kakbah. Mereka lalu menghadap Kakbah, padahal sebelumnya
menghadap ke Syam, lalu mereka memutar badan menghadap Kakbah'." [28](
Sisi argumentasi kisah ini, penduduk
Quba menghadap ke kibat yang telah ditetapkan oleh Allah, dan mereka tidak
meninggalkan kewajiban ini, hingga terdapat hujjah (dalil). Ketika pembawa
berita tentang perubahan kiblat, mereka tidak menunggu hingga Rasulullah saw.
datang untuk menguatkan berita ini. Mereka juga tidak bersikap tawaquf
(abstain) terhadap keshahihan berita tersebut hingga tersebar luas di
tengah-tengah masyarakat. Akan tetapi, mereka segera menghadap ke Kakbah dengan
alasan hadits yang dibawa satu orang, dan Rasulullah saw. tidak mengingkari
sikap mereka. Jika hadits ahad yang mereka amalkan itu tidak dapat dijadikan
hujjah, insya Allah mereka akan berkata, "Kalian sudah menghadap kiblat.
Kalian tidak boleh meninggalkannya, kecuali telah mengetahui betul hingga dapat
dijadikan hujjah dari pendengaran kalian dariku, atau berita umum, atau lebih
dari berita satu orang dariku."[29]
Akan tetapi, hal itu tidak terjadi. Sangat banyak nash-nash sunnah yang
disampaikan Imam Syafi'i. Semuanya tegas menunjukkan bahwa hadits ahad dapat
dijadikan hujjah jika pembawa berita memiliki integritas yang baik.
Dari sini, jelaslah bagi kita bahwa hadits ahad adalah
hujjah dan harus diamalkan. Umat Islam telah sepakat akan hal ini. Adapun
pengingkaran kaum Mu'tazilah seperti disebutkan Harun tidak diperhitungkan dan
tidak bisa dijadikan cacat yang merusak ijma. Alasannya, mereka menyimpang dari
garis besar Islam, selain tidak memiliki argumentasi yang kuat.
Dari segi lain, Mu'tazilah telah mengingkari sunnah secara
keseluruhan, termasuk di dalamnya hadits-hadits mutawatir. Ini tidak seperti
dugaan Harun bahwa mereka hanya mengingkari hadits ahad dan masyhur. Dengan
demikian, jelaslah bahwa berbagai tuduhan yang dilemparkan oleh Harun Nasution
seputar hadits sama sekali tidak punya basis argumentasi yang kuat. Semua itu
dibangun oleh dugaan dan merupakan pengulangan terhadap pernyataan orientalis
tanpa sikap kritis.
2.4 Perbedaan Pendapat
Ulama Tentang Kehujjahan Hadits Ahad
Hujjah atau Hujjat
(bahasa Arab: الحجة)
adalah istilah yang banyak digunakan didalam Al-Qur'an dan literatur Islam yang
bermakna tanda, bukti, dalil, alasan atau argumentasi. Sehingga kata kerja
"berhujjah" diartikan sebagai "memberikan alasan-alasan". Sebagaimana
yang dijelaskan dalam Al-Qur’an:
قُلْ فَلِلّهِ
الْحُجَّةُ الْبَالِغَةُ فَلَوْ شَاء لَهَدَاكُمْ أَجْمَعِينَ .
Artinya: “Katakanlah: “Allah mempunyai hujjah
yang jelas lagi kuat; maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk
kepada kamu semuanya”. (QS. Al-An’am:149).
Kadangkala
kata hujjah disinonimkan dengan kata burhan[30],
yaitu argumentasi yang valid, sehingga dihasilkan kesimpulan yang dapat
diyakini dan dipertanggungjawabkan akan kebenarannya. Dari pengertian
seperti itulah hujjah dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu hujjah
naqliyyah dan hujjah ‘aqliyyah.
1. Hujjah Naqliyyah (Argumentasi Dogmatikal/Doktrin)
حجة
نقلية هي ما كان من الكتاب والسنة والإجماع Hujjah Naqliyah ialah suatu keterangan, bukti, alasan, atau
argumentasi yang diambil (dinukil) dari firman Allah (Al-Qur'an) dan
sunnah rasul-Nya (Hadits) serta
sunnah para sahabatnya (yaitu Khulafaur Rasyiddin)[31]
dan ijma' mereka.
2. Hujjah ‘Aqliyyah (Argumentasi Rasional/Akal)
Hujjah ‘Aqliyyah maksudnya keterangan, alasan,
bukti atau argumentasi yang berdasarkan pada hasil pemikiran manusia secara
logis dan sistematis. Berfikir seperti inilah yang kemudian menjadikan sebuah
metode pengembangan ilmu sebagai salah satu bukti akan berkembangnya konsep
epistimologi dalam Islam. Hal ini dapat dapat dibultikan dengan cara
memperlihatkan bagaimana ilmu itu diturunkan kepada orang, dan untuk menjawab
pertanyaan ini tidak bisa dengan hanya melakukan observasi dan eksperimen saja,
sebab untuk memulai progam pengkajian, diperlukanlah hipotesis dan untuk bisa
sampai pada jumlah hipotesis diperlukanlah adanya proses berfikir dan
berimajinasi yang intens, sehingga dari hipotesis tersebut dapat dilakukan
observasi dan eksperimen untuk kemudian mendapatkan suatu hasil penelitian atau
penemuan-penemuan sekalipun hasil akhirnya masih sangat terbatas.
Hadits Ahâd menurut Muhadditsin (para ahli
hadits) dan Jumhur (mayoritas) ulama muslimin, wajib diamalkan apabila memenuhi
syarat keshahihan dan diterimanya hadits itu[32]. Dalam
hal ini, terdapat 3 pendapat seputar masalah: Apakah Khabar al-Wâhid atau
Hadîts Ahâd dapat memberikan informasi yang pasti (bersifat keilmuan dan yaqin)[33]?
I. Pendapat Pertama:
I. Pendapat Pertama:
Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd dapat
memberikan informasi yang pasti (bersifat keilmuan dan yaqin) secara
mutlak/total.
Ini adalah pendapat yang dinisbahkan
(dilekatkan) kepada Imam as-Sunnah, Imam Ahmad dan Madzhab Ahl azh-Zhâhir
(Zhâiyyah), namun penisbahan ini tidak
benar sama sekali. Imam Ahmad dikenal sebagai Ahli al-Jarh wa
at-Ta'dîl (ulama kritikus Hadits) dan tidak dapat dihitung berapa banyak
bantahan beliau terhadap hadits-hadits yang diriwayatkan para periwayat
kategori lemah. Dan ini cukup sebagai bantahan terhadap apa yang
dituduhkan kepada diri beliau tersebut.
Sedangkan Ibn Hazm, sebagai salah seorang Ahl azh-Zhâhir mengaitkan berfungsinya Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd sebagai pemberi informasi ilmu (hal yang yaqin dan pasti) dengan 'adâlah (keadilan) sang perawi hadits.
Sedangkan Ibn Hazm, sebagai salah seorang Ahl azh-Zhâhir mengaitkan berfungsinya Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd sebagai pemberi informasi ilmu (hal yang yaqin dan pasti) dengan 'adâlah (keadilan) sang perawi hadits.
Bantahan Terhadap Pendapat Pertama Ini
Pendapat tersebut jelas-jelas tidak benar
dan tidak masuk akal, sebab bagaimana mungkin kita bisa membayangkan
ada orang berakal yang membenarkan semua berita yang didengarnya, padahal kita
tahu bahwa ada sekelompok manusia yang dikenal hobi berbohong dan suka lalai.
II. Pendapat Kedua
Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd tidak dapat
memberikan informasi yang pasti (bersifat keilmuan dan yaqin) secara
mutlak/total.
Ini adalah pendapat sebagian Ahli Kalam
(Mutakallimin) dan Ulama Ushul Fiqih (Ushuliyyun) sekalipun sebagian dari ulama
Ushul ini seperti al-Juwainiy dan Abu Manshur al-Baghdadiy telah menyebutkan di
dalam sebagian kitab mereka pendapat yang justeru sepakat dengan Pendapat
Ketiga nanti. Demikian juga, penisbahan pendapat ini kepada mayoritas Ahli
Fiqih dan Ahli Hadits perlu dikritisi dan diberikan catatan terlebih dahulu.
Jawaban Terhadap Pendapat Tersebut
Kalau argumentasi anda demikian, maka kami juga
akan katakan bahwa terhadap Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd tersebut, justeru
kami mendapatkan pada diri kami informasi ilmu dan kepastian tentangnya, bukan
seperti yang anda katakan bahwa antara yang satu dengan yang lain tidak ada
yang lebih unggul. Manakala anda tidak mendapatkan informasi pasti (yang
bersifat keilmuan dan yaqin) pada diri anda, maka itu urusan pribadi anda,
tidak boleh digeneralisir sebab ia hanyalah pemberitaan terhadap apa yang ada
di dalam diri anda sendiri. Hal ini dikarenakan, anda tidak memiliki jalur-jalur
yang dapat menginformasikan ilmu kepada anda sebagaimana yang didapat oleh
Ahlussunnah dan al-Hadits, yang memang melakoninya dan menghabiskan usia mereka
untuk mendapatkan dan mencarinya.
Karena itu, kami katakan kepada orang yang
menolak Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd tersebut, "Alihkan perhatian anda
kepada hadits, antusiaslah untuk itu, kumpulkan, telusuri jalur-jalurnya,
kenali kondisi para periwayat dan biografi mereka, jadikan hal itu sebagai
tumpuan tuntutan dan akhir tujuan anda. Bila hal ini anda lakukan, maka ketika
itu anda akan mengetahui: "Apakah Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd
tersebut memberikan informasi ilmu kepada anda atau tidak?." Sedangkan
bila anda ogah-ogahan terhadapnya dan di dalam mencarinya, maka sudah tentu ia tidak
akan memberikan informasi ilmu kepada anda. Nah, andaikata anda tetap juga
mengatakan bahwa ia tidak memberikan informasi ilmu kepada anda karena
menduga-duga; maka itu artinya, anda telah menginformasikan berita yang terkait
dengan bagian dan jatah anda sendiri dari hal itu (yang tidak anda ketahui
sehingga tidak perlu melibatkan orang lain).
III. Pendapat Ketiga
Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd memberikan
informasi yang pasti (bersifat keilmuan dan yaqin) secara bersyarat
Inilah pendapat yang shahih.
Yang dimaksud di sini adalah Khabar (berita)
yang dipertegas dengan Qarâ`in (dalil-dalil penguat), sementara Qarînah (bentuk
tunggal dari Qarâ`in) bisa jadi terkait dengan khabar itu sendiri; bisa jadi
terkait dengan Mukhbir (pembawa berita) dan bisa jadi terkait dengan
kedua-duanya. Termasuk dalam hal ini, Khabar Mustafîdl (berita yang demikian
banyak, tak terhingga) yang pada awalnya hanya diriwayatkan oleh seorang, lalu
menjadi banyak dan masyhur dan Khabar yang sudah mendapatkan penerimaan dari
umat (al-Khabar al-Mutalaqqa 'Indal Ummah bi al-Qabûl), atau oleh
sebagian ulama terkait di bidangnya yang diantaranya ada diriwayatkan oleh
asy-Syaikhân (Imam Bukhariy dan Muslim) atau salah seorang dari keduanya,
diantaranya juga ada yang merupakan hadits Musalsal (bermata rantai)
dengan para Imam yang Hâfizh seperti Imam Malik dari Nafi' dari Ibn 'Umar.
Khabar ini dan sejenisnya jelas memberikan informasi ilmu menurut jumhur Ahli
Hadits, Ahli Ushul, mayoritas Ahli Kalam, semua Ulama Salaf dan para Ahli Fiqih
umat. Dalam masalah ini, antara ulama Salaf tidak terdapat perselisihan
pendapat.
Argumentasi-Argumentasi
Pendapat Ketiga
Dalil-dalil (argumentasi-argumentasi) bagi pendapat ketiga ini banyak sekali, diantaranya:
Dalil-dalil (argumentasi-argumentasi) bagi pendapat ketiga ini banyak sekali, diantaranya:
- Membeda-bedakan antara Khabar al-Wâhid (Hadîts Ahâd) dan Hadits Mutawatir di dalam menginformasikan ilmu merupakan peristilahan (term) yang dibuat-buat, tidak didukung oleh dalil dari Kitabullah, sunnah Rasul-Nya, tidak pernah dikenal oleh para shahabat ataupun para Tabi'in. Realitasnya, informasi yang disampaikan langsung oleh Rasulullah dibenarkan oleh kaum Mukminin (para shahabat) tanpa mereka perlu mendapatkannya melalui pembawa-pembawa berita yang mutawatir (dalam jumlah banyak). Demikian pula sebaliknya, Rasulullah sendiri membenarkan berita/informasi yang disampaikan oleh para shahabat beliau. Para shahabat, satu sama lainnya juga saling membenarkan, demikian pula dengan para Tabi'in, mereka membenarkan berita yang dibawa oleh para shahabat dan sejawat-sejawat mereka.. Masalah adanya diantara mereka, orang yang abstain (tawaqquf) terhadap suatu informasi hingga mendapatkan penegasan dari orang lain, tidak berarti sama sekali bahwa mereka semua menolak Khabar Ahâd. Hanya saja, memang dalam momen yang amat jarang, mereka sangat ekstra hati-hati di dalam menerima informasi. Oleh karena itu, kami tegaskan bahwa Khabar Ahâd (Khabar al-Wâhid) memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin) secara bersyarat. Sebab, pendapat yang menyatakan bahwa Khabar Ahâd (Khabar al-Wâhid) tidak memberikan informasi ilmu secara mutlak justeru dapat memandegkan urusan dien dan dunia sekaligus. Ini adalah bentuk pembatalan yang terang-terangan terhadap ijma' para shahabat, Tabi'in dan para ulama setelah mereka.
- Rasulullah pernah mengirimkan para shahabatnya kepada para raja dan penguasa untuk menyampaikan risalah Rabb-nya secara orang per-orang (Ahâd). Andaikata khabar yang mereka bawa tidak memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin), tentu beliau tidak akan pernah mengirimkan mereka secara per-orangan seperti itu, sebab jelas hal itu perbuatan sia-sia yang amat jauh dari kepribadian seorang pembawa Risalah yang seharusnya bersih dari melakukan kesia-siaan seperti itu.
- Ketika ada seorang yang memberitakan kepada kaum Muslimin saat mereka sedang shalat shubuh (atau shalat lainnya) di Quba` bahwa kiblat telah dialihkan ke arah Ka'bah, mereka serta-merta menerima khabar yang dibawanya dan meninggalkan hujjah yang masih mereka pegang dan bersifat pasti, lalu mereka memutar ke belakang mengarah ke Kiblat sebagai pemenuhan terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya yang disampaikan kepada mereka sekalipun hanya melalui jalur satu orang. Kenyataannya, Rasulullah tidak mengingkari sikap mereka terhadap hal itu, bahkan sebaliknya, berterimakasih atas tindakan mereka tersebut.
2.5 Kehujjahan Hadits Ahad Dalam
Persoalan ‘Aqidah
Para pemegang pendapat kedua diatas,
yang menyatakan bahwa Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) tidak memberikan informasi
pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin), melandasi pendapat mereka tersebut
dengan kerangka berfikir : tidak boleh berhujjah dengannya di dalam masalah
'Aqidah karena masalah 'Aqidah bersifat Yaqiniyyah yang hanya memerlukan
sesuatu yang pasti (Qath'iy) .
Dalam hal
ini, Kaum Mu'tazilah tidak menerima Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) di dalam masalah 'Aqidah,
kecuali bila sealur dengan Akal/logika, baru dapat dijadikan argumentasi
tetapi itupun hanya dalam rangka sebagai penegas/penguat bukan hujjah. Jika
tidak demikian, maka khabar seperti itu ditolak dan dianggap bathil, kecuali
bila mengandung interpretasi yang bukan dipaksa-paksakan. Teori berfikir kaum
Mu'tazilah ini diamini oleh kebanyakan kaum Ahli Kalam (Mutakallimin) dari
tokoh Asyâ'irah (Madzhab Asy'ariyyah) seperti Abu al-Ma'âliy al-Juwainiy dan
al-Fakhr ar-Râziy.
Ø
Bantahan Terhadap Pendapat Ini
Untuk
membantah pendapat ini, cukup dengan menyatakan pernyataan sebelumnya bahwa
Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) yang dipertegas dengan Qarâ`in (dalil-dalil
penguat) dapat memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin)
sebab alasan utama yang dijadikan pegangan oleh mereka yang menolak tersebut
hanyalah : Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) tidak boleh dijadikan hujjah di dalam
masalah-masalah 'Aqidah karena informasi yang diberikannya bersifat Zhanniy
(tidak pasti) dan tidak dapat memberikan informasi ilmu.
Ø Argumentasi-Argumentasi
Pendapat Ketiga (Madzhab Salaf) Di Dalam Masalah Ini
1.
Membeda-bedakan antara masalah-masalah 'aqidah dan hukum di dalam
berargumentasi dengan Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) merupakan perbuatan bid'ah (mengada-ada)
yang tidak pernah dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu (Salaf). Bahkan biografi
dan karya-karya tulis mereka menunjukkan hal yang amat kontras sama sekali
dengan hal itu. Para shahabat, Tabi'in, Tabi'ut Tabi'in dan Ahl al-Hadits dan
as-Sunnah masih senantiasa berhujjah dengan khabar-khabar seperti itu di dalam
menetapkan masalah Shifat Allah, Qadar, Asmâ`, Hukum-hukum, dan lain
sebagainya.
2. Adanya
khabar-khabar (hadits-hadits) yang mutawatir dari Nabi SAW. tentang tindakan
beliau mengirimkan para utusan dan Da'i beliau ke pelbagai pelosok negeri,
demikian juga kepada para raja, kisra, kaisar dan selain mereka dalam rangka
mendakwahi mereka kepada Allah. Sudah barang tentu, hal pertama yang
disampaikan oleh mereka ketika itu adalah masalah 'Aqidah. Diantara
indikasinya adalah sabda Nabi SAW. kepada Mu'adz bin Jabal ketika hendak
mengutusnya ke negeri Yaman:
إنك تقدم على قوم أهل الكتاب، فليكن أول ما تدعوهم إليه عبادة
الله -عز وجل- . وفي رواية : فادعهم إلى شهادة أن لا إله إلا الله ...""
Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan
Ahli Kitab; maka hendaklah hal pertama yang engkau dakwahi/ajak mereka
kepadanya (adalah) agar beribadah kepada Allah 'Azza Wa Jalla."
Di dalam riwayat yang lain,"…Maka, ajaklah mereka agar
bersaksi bahwa Tiada Ilah (Tuhan) -yang haq disembah- selain Allah."
3. Membeda-bedakan antara masalah
'Aqidah dan Hukum di dalam berargumentasi dengan Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) pada
dasarnya hanya berpijak pada kerangka berfikir bahwa: amal perbuatan tidak
ada kaitannya dengan 'Aqidah dan 'Aqidah tidak ada kaitannya dengan
hukum-hukum 'amaliyyah (praktis).
Kedua statement ini adalah Bathil dan termasuk bid'ah (hal
yang diada-adakan) oleh Ahli Kalam. Islam justeru membawa hal yang amat kontras
dengan itu semua; Tidak ada hukum yang bersifat 'amaliy (praktis) kecuali ia
selalu berkaitan dengan dasar-dasar 'aqidah, yaitu Iman kepada Allah; bahwa Dia
telah mengutus Rasul-Nya agar menyampaikan dari-Nya hukum ini; beriman akan
kebenaran Rasul, amanahnya di dalam menyampaikan risalah kemudian beriman
kepada konsekuensi-konsekuensi dari hukum 'amaliy tersebut yang berupa pahala
atau dosa; kesengangan atau kesengsaraan. Hal ini sebagaimana firman Allah
Ta'ala dalam surat An-Nuur ayat 2:
"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina,
maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah
belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama
Allah…"
Ayat
diatas menunjukkan hukum 'amaliy, kemudian Allah Ta'ala berfirman :
"…jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akherat…" (Q.S. An-Nûur :2).
"…jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akherat…" (Q.S. An-Nûur :2).
Jadi, (dalam penutup ayat ini) Allah Ta'ala mengaitkan hukum
'amaliy dengan 'aqidah beriman kepada Allah dan Hari Akhir[34].
Ø Sekilas
Tentang pandangan Imam Asy-Syafi'iy
Imam asy-Syâfi'iy dijuluki oleh kalangan Ahlu al-Hadîts
sebagai Nâshir as-Sunnah (pembela as-Sunnah). Ini tentu saja merupakan
penghargaan tertinggi terhadap sosok beliau dan bukan hanya sekedar simbol
belaka. Sikap, ucapan dan karya-karya tulis beliau menjadi saksi untuk itu.
Dimasa hidup beliau, timbul bermacam-macam aliran keagamaan
yang mayoritasnya selalu menyerang as-Sunnah. Mereka dapat dibagi menjadi tiga
kelompok: Pertama, mengingkari as-Sunnah secara keseluruhan. Kedua,
tidak menerima as-Sunnah kecuali bila semakna dengan al-Qur'an. Ketiga,
menerima as-Sunnah yang mutawatir saja dan tidak menerima selain itu alias
menolak Hadits Ahâd.
Beliau menyikapi ketiga kelompok tersebut dengan tegas;
kelompok pertama dan kedua tersebut secara terang-terangan ingin merontokkan
as-Sunnah dan tidak menganggapnya sebagai salah satu sumber utama hukum Islam
yang bersifat independen sementara kelompok ketiga, tidak kurang dari itu.
Terhadap kelompok pertama, beliau menyatakan bahwa
tindakan mereka tersebut amat berbahaya karena dengan begitu rukun Islam,
seperti shalat, zakat, haji dan kewajiban-kewajiban lainnya menjadi tidak dapat
dipahami bila hanya berpijak kepada makna global dari al-Qur'an kecuali dari
makna secara etimologisnya saja. Demikian pula terhadap kelompok kedua,
bahwa implikasinya sama saja dengan kelompok pertama. Sedangkan terhadap kelompok
ketiga, beliau membantah pendapat mereka dengan argumentasi yang valid dan
detail. Diantara bantahan tersebut adalah sebagai berikut:
- Di dalam mengajak kepada Islam, Rasulullah mengirim para utusan yang jumlahnya tidak mencapai angka mutawatir. Maka bila memang angka mutawatir tersebut urgen sekali, tentu Rasulullah tidak merasa cukup dengan jumlah tersebut sebab pihak yang dituju oleh utusan tersebut juga memiliki hak untuk menolak mereka dengan alasan tidak dapat mempercayai dan mengakui berita yang dibawa oleh mereka.
- Bahwa di dalam peradilan perdata dan pidana yang terkait dengan harta, darah dan nyawa harus diperkuat oleh dua orang saksi padahal yang menjadi landasannya adalah khabar (hadits) yang diriwayatkan oleh jumlah yang tidak mencapai angka mutawatir alias Hadits Ahâd tetapi meskipun demikian, asy-Syâri' (Allah Ta'ala) tetap mewajibkan hal itu.
- Nabi SAW. membolehkan orang yang mendengar darinya untuk menyampaikan apa yang mereka dengar tersebut meskipun hanya oleh satu orang saja. Beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: "Mudah-mudahan Allah memperbaiki akhlaq dan derajat seseorang (seorang hamba) yang mendengar hadits dari kami lantas menghafalnya hingga menyampaikannya; (sebab) betapa banyak orang yang membawa ilmu (hanya berilmu dan tidak lebih ilmunya namun dia menghafal dan menyampaikannya) kepada orang yang lebih berilmu darinya dan betapa banyak orang yang membawa ilmu tetapi dia tidak berilmu (namun mendapatkan pahala menyampaikannya).”(H.R.Abu Daud)
- Para shahabat menyampaikan hadits-hadits Rasulullah secara individu-individu dan tidak mensyaratkan harus diriwayatkan oleh orang yang banyak sekali.
Demikianlah
diantara bantahan beliau di dalam menegaskan wajibnya menerima hadits Ahâd[35].
Ø
Fatwa Ulama Kontemporer
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimîn ditanya tentang
orang yang menganggap hadits-hadits Ahâd tidak dapat dijadikan landasan dalam
masalah 'aqidah menjawab:
"Tanggapan kami terhadap orang yang beranggapan bahwa hadits-hadits Ahad tidak dapat menjadi landasan dalam masalah 'aqidah dengan alasan ia hanya memberikan informasi secara zhann (tidak pasti) sedangkan masalah 'aqidah tidak dapat dilandasi oleh sesuatu yang bersifat zhann adalah bahwa pendapat semacam ini tidak tepat sebab dilandaskan kepada sesuatu yang tidak tepat pula”. Ini dapat dibuktikan dengan beberapa tinjauan:
"Tanggapan kami terhadap orang yang beranggapan bahwa hadits-hadits Ahad tidak dapat menjadi landasan dalam masalah 'aqidah dengan alasan ia hanya memberikan informasi secara zhann (tidak pasti) sedangkan masalah 'aqidah tidak dapat dilandasi oleh sesuatu yang bersifat zhann adalah bahwa pendapat semacam ini tidak tepat sebab dilandaskan kepada sesuatu yang tidak tepat pula”. Ini dapat dibuktikan dengan beberapa tinjauan:
- Pendapat bahwa hadits Ahad hanya memberikan informasi secara zhann tidak dapat digeneralisir sebab ada banyak khabar/berita yang bersifat Ahâd (individuil) dapat memberikan informasi secara yakin, yaitu bila ada qarâ-in (dalil-dalil penguat) yang mendukung kebenarannya seperti ia telah diterima secara luas oleh umat. Contohnya, hadits yang diriwayatkan oleh 'Umar bin al-Khaththab ra. : "Sesungguhnya semua pekerjaan itu tergantung kepada niat". Ini merupakan khabar Ahâd, meskipun demikian kita tahu bahwa Nabi SAW. yang mengucapkannya. Statement seperti ini telah dianalisis oleh Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah, al-Hâfizh Ibnu Hajar, dan lainya.
- Bahwa Nabi SAW. mengirimkan individu-individu (orang per-orang) guna mengajarkan permasalahan 'aqidah yang prinsipil (Ushûl al-'Aqîdah), yakni dua kalimat syahadat (Lâ ilâha illallâh, Muhammad Rasûlullâh) sedangkan pengiriman yang dilakukan oleh beliau merupakan hujjah yang tidak dapat ditolak. Indikatornya, beliau mengirimkan Mu'adz bin Jabal ke negeri Yaman. Mu'adz menganggap pengiriman dirinya sebagai hujjah yang tidak dapat ditolak oleh penduduk Yaman dan harus diterima.
- Bila kita mengatakan bahwa masalah 'aqidah tidak dapat dilandaskan kepada khabar Ahâd, maka berarti bisa dikatakan pula bahwa al-Ahkâm al-'Amaliyyah (hukum-hukum yang terkait dengan perbuatan/aktivitas) tidak dapat juga dilandaskan kepada khabar Ahâd sebab al-Ahkâm al-'Amaliyyah selalu disertai oleh suatu 'aqidah bahwa Allah Ta'ala memerintahkan begini atau melarang begitu. Bila pendapat semacam ini (yang mengatakan bahwa al-Ahkâm al-'Amaliyyah tidak dapat juga dilandaskan kepada khabar Ahâd) diterima, tentu banyak sekali hukum-hukum syara' yang tidak berfungsi. Konsekuensinya, bila pendapat semacam ini harus ditolak, maka tentunya pendapat yang mengatakan bahwa masalah 'aqidah tidak dapat dilandaskan kepada khabar al-Ahâd harus ditolak pula karena tidak ada bedanya.
- Bahwa Allah Ta'ala memerintahkan orang yang jahil/tidak tahu agar merujuk kepada pendapat Ahl al-'Ilm (ulama) terhadap salah satu permasalahan 'aqidah yang maha penting, yaitu tentang risalah. Allah Ta'ala berfirman: "Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui". (Q,S. An-Nahl: 43)… dan hal ini mencakup pertanyaan yang diajukan oleh individu atau kelompok.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Para
ahli ulama mengelompokkan hadits dari segi kuantitas menjadi tiga bagian, yaitu
hadits mutawatir, masyhur, dan ahad, ada juga yang membaginya
hanya dua saja yaitu hadits mutawatir, dan ahad.
Hadits mutawatir adalah“suatu
hadits yang dapat ditangkap panca indera dan diriwayatkan oleh sejumlah besar
rawi, yang menurut kebiasaan, mereka mustahil berkumpul dan bersepakat untuk
dusta”.
Syarat
hadits mutawatir adalah “hadits yang diriwayatkan dari kelompok ke kelompok
pada tiap tataran (thabaqoh) dengan jumlah perawi yang banyak, sehingga
akal menyatakan mustahil mereka sepakat untuk bohong, dan proses tersebut dapat
diindera oleh panca indera”.
Menurut sebagian ulama, hadits
mutawatir itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu mutawatir lafzhi dan
mutawatir ma’nawiy.
Hadits masyhur adalah hadits yang
memiliki sanad terbatas yang lebih dari dua atau sekurang-kurangnya
diriwayatkan oleh tiga orang.
Hadits masyhur dari segi diterima
atau ditolak, dibagi menjadi 3 bagian, yaitu shahih, hasan, dan dha’if.
Hadits Ahad adalah “hadits yang periwayatannya
tidak mencapai jumlah banyak orang, hingga tidak mencapai mutawâtir.
Hadits
Ahad yang ditinjau dari segi jumlah perawi dalam sanadnya, dibagi menjadi 3
macam, yaitu:
1.
Hadits gharib
2.
Hadits ‘aziz
3.
Hadits masyhur, disebut juga al-Mustafidh.
Faktor penentu dan utama sebuah hadits dikategorikan shahih
atau tidak adalah kualitas atau kredibilitas perawi, apakah dia seorang
terpercaya (tsiqah) atau seorang tertuduh berdusta. Ketika satu hadits
diriwayatkan oleh sedikit orang, atau katakan satu orang saja, ia tidak
otomatis telah dikategorikan dha'if (lemah).
Dalam hal ini, Kaum Mu'tazilah tidak
menerima Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) di dalam masalah 'Aqidah, kecuali bila
sealur dengan Akal/logika, baru dapat dijadikan argumentasi tetapi itupun hanya
dalam rangka sebagai penegas/penguat bukan hujjah.
Hujjah disinonimkan
dengan kata burhan, yaitu argumentasi yang valid, sehingga dihasilkan
kesimpulan yang dapat diyakini dan dipertanggungjawabkan akan kebenarannya.
Hujjah terbagi kepada Hujjah ‘Aqliyyah (Argumentasi
Rasional/Akal), dan Hujjah Naqliyyah (Argumentasi Dogmatikal/Doktrin).
Para
pemegang pendapat kedua diatas, yang menyatakan bahwa Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd)
tidak memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin), melandasi
pendapat mereka tersebut dengan kerangka berfikir : tidak boleh berhujjah
dengannya di dalam masalah 'Aqidah karena masalah 'Aqidah bersifat Yaqiniyyah
yang hanya memerlukan sesuatu yang pasti (Qath'iy) .
3.2
Saran
Saya sebagai pemakalah menyadari masih banyak kekurangan mengenai
isi dari makalah ini, oleh karena itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran
dari teman-teman semua agar makalah ini dapat ditulis dengan lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
A.Qadir Hasan, Ilmu MUsthalah Hadits”, cet.VII, Bandung: CV. Diponegoro, 1996.
Ahmad Muhammad Al-Syakir, Syarh Alfiyah Al-Suyuthi fi’ilm
Al-Hadits, Beirut: Dar Al-Ma’rifat, tt.
Al-Muwaththa', Kitab Al-Qiblat,
Bab Ma Ja'a fil Qiblah, juz 1, no. hadits 6.
Al Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Taqrib al-Nawawiy, cet.II,
Tahqiq Abdul al-Wahab Abdul al-Latief, tahun 1385 H.
Abdul Qadir bin
Thahir al-Baghdadi, Al-Farqu Baina al-Firaq, tahqiq Muhammad Muhyiddin,
Dar al-Ma'rifah, 429 H.
Abu Bakar
Muhammad bin Musa al-Hazimi, Syuruth al-A'immah al-Khamsah, komentar
Syaikh Muhammad Zahid al-Kautsari, Maktabah al-Qudsi, Kairo, 1357 H.
Buletin an-Nur,
tahun VI, No. 247/Jum'at I/Jumadil Ula 1421 H.
Ibnu Hazm
al-Andalusi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Tahqiq Ahmad Syakir, Dar
al-'Afaq al-Jadidah, Beirut, cet. pertama, tahun 1400 H, juz 1.
------------------------------------------,
Tahqiq Ahmad Syakir, Dar al-'Afaq al-Jadidah, Beirut, cet. pertama, tahun 1400
H, juz 1, Rif'at Fauzi, Tautsiq
as-Sunnah.
Imam Muhammad
bin Idris asy-Syafi'i, Ar-Risalah, tahqiq Syaikh Ahmad Syakir, Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, 150-204 H.
Imam Solihin, Hadits Ditinjau dari Kuantitas Perawinya,
situs: http://musloemsejati.
blogspot.com/2012/03/27/ hadits-ditinjau-dari-kuantitas-perawinya.html,
diunggah hari Rabu 2 Oktober 2013.
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, cet. 1, Malang:
UIN-Malang Press, 2007.
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, ed.3 ,
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, ed. Revisi, Jakarta: Raja
Grafindo, 2002.
Nuruddin ‘Itr, ‘Ulum Al-Hadits 2 (Manhaj An-Naqd Fii ‘Ulum
Al-Hadits), cet. 1, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.
Syaikh Manna’Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, cet.
1, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005, penerj. Mifdhol Abdurrahman, Lc.
Zeid B. Smeer, Pengantar Studi Hadits Praktis, cet.1, Malang:
UIN-Malang Press, 2008.
Harun Nasution,
Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid 1, Jakarta: UI Press, 1985.
Sofyan Efendi, Hadits Web: Kumpulan & Referensi Belajar
Hadits, (http://opi. 110mb.com), dari situs: http://www.alsofwah.or.id/?pilih
=lihathadits&id=50.
Syaikh 'Utsman
'Ali Hasan, Mashâdir al-Istidlâl 'Ala Masâ`il al-I'tiqâd.
[1] Mahmud Thahhan,
Intisari Ilmu Hadits, (Malang: UIN-Malang Press, 2007), cet. 1, hlm. 29.
[2] A. Qadir Hasan,
Ilmu MUsthalah Hadits”, (Banung: CV. Diponegoro, 1996), cet.VII, hlm.
24.
[3] Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, Sejarah &
Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), ed.3, hlm.
153
[4] Pembagian
inilah yang dipegangi oleh kebanyakan fuqaha dan ahli ushul, kebanyakan ahli
hadits membagi dari jihat (segi) kemutawatiran dan tidaknya, kepada 2
saja: mutawatir dan ahad. Jenis masyhur mereka masukkan dalam ke
dalam ahad, dan mereka ta’rifkan masyhur dengan ta’rif yang lain yaitu
“hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, tetapi tidak sampai ke
derajat mutawatir”.
[5] Mahmud
Thahhan, ibid, hlm. 31.
[6] Munzier Suparta,
Ilmu Hadits, (Jakarta: Raja Grafindo, 2002), ed. Revisi, hlm. 95.
[7] Mahmud Thahhan,
Intisari Ilmu Hadits, (Malang: UIN-Malang Press, 2007), cet. 1, hlm. 31.
[8]
Imam Solihin, Hadits Ditinjau dari Kuantitas Perawinya, situs:
http://musloemsejati.blogspot.com/ 2012/03/27/
hadits-ditinjau-dari-kuantitas-perawinya.html,
diunggah hari Rabu 2 Oktober 2013.
[9] Nuruddin ‘Itr, ‘Ulum
Al-Hadits 2 (Manhaj An-Naqd Fii ‘Ulum Al-Hadits), (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1994), cet. 1, hlm. 198.
[10] Syaikh
Manna’Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2005), penerj. Mifdhol Abdurrahman, Lc., cet. 1, hlm. 110.
[11] Zeid B. Smeer, Pengantar
Studi Hadits Praktis, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), cet.1, hlm.39.
[12] Mahmud Thahhan,
op. cit, hlm. 32.
[13]
Al Suyuthi, Tadrib
al-Rawi fi Taqrib al-Nawawiy, cet.II, Tahqiq Abdul al-Wahab Abdul
al-Latief, tahun 1385 H.
[14] Ahmad Muhammad
Al-Syakir, Syarh Alfiyah Al-Suyuthi fi’ilm Al-Hadits, (Beirut: Dar
Al-Ma’rifat, tt), hlm. 46.
[15] Mahmud Thahhan,
op. cit, hlm. 33, lihat juga Nuruddin al-‘Itr, op. cit, hlm. 199,
Manna’ al-qaththan, op. cit, hlm.111.
[16] Munzier
Suparta, op. cit, hlm. 101.
[17] Zeid B. Smeer, op.
cit, hlm. 41.
[18] Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, op. cit, hlm. 156.
[19] Nuruddin ‘Itr, op.
cit, hlm. 202-203.
[20]
Mahmud Thahhan, op. cit, hlm. 37.
[21]
Munzier Suparta, op. cit, hlm. 119.
[22] Harun
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press,
1985), jilid 1, hlm. 28-30.
[23] Ibnu Hazm al-Andalusi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam,
Tahqiq Ahmad Syakir, Dar al-'Afaq al-Jadidah, Beirut, cet. pertama, tahun 1400
H, juz 1, hlm. 119; Rif'at Fauzi, Tautsiq as-Sunnah, hlm. 89).
[24] Abdul Qadir bin Thahir al-Baghdadi (429 H), Al-Farqu
Baina al-Firaq, tahqiq Muhammad Muhyiddin, Dar al-Ma'rifah, hlm. 132, 143,
dan 144.
[25] Ibnu Hazm al-Andalusi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam,
Tahqiq Ahmad Syakir, Dar al-'Afaq al-Jadidah, Beirut, cet. pertama, tahun 1400
H, juz 1, hlm. 114.
[26]
Abu Bakar Muhammad bin Musa
al-Hazimi, Syuruth al-A'immah al-Khamsah, komentar Syaikh Muhammad Zahid
al-Kautsari, Maktabah al-Qudsi, Kairo, 1357 H, hlm. 47.
[27] Imam
Muhammad bin Idris asy-Syafi'i (150-204 H), Ar-Risalah, tahqiq Syaikh
Ahmad Syakir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hlm. 404.
[29] Imam
Muhammad bin Idris asy-Syafi'i (150-204 H), Ar-Risalah, tahqiq Syaikh
Ahmad Syakir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hlm. 408.
[30] Seperti pada terjemahan Al-Qur'an bahasa Indonesia untuk Surah
ke-21 Al-Anbiya: 24 "...Kul hatu burhana-kum..." artinya
"...Katakanlah: "Unjukkanlah hujjahmu!.." http://quran.com/21/24.
[31]
Penggabungan sunnah Khulafa al-Rosyidin ke dalan hujjah naqliyyah
itu berdasarkan hadits “Berpeganglah dengan sunnahku dan sunnah khulafaur
Rasyidin yang mendapatkan petunjuk”. (HR. Abu Dawud, Turmudzi dan Ibn Hatim
dari ayahnya). Juga hadits: “Maka hendaklah kamu berpegang teguh pada sunnahku
dan sunnah al-khulafa al-rasyidin sesudah aku”. (HR. Ahmad bin Hanbal).
[32] Buletin an-Nur, tahun VI, No. 247/Jum'at
I/Jumadil ula 1421 H.
[33]Sofyan Efendi, Hadits Web: Kumpulan & Referensi
Belajar Hadits, (http://opi.110mb.com), dari situs: http://www.alsofwah.or.id/?pilih=lihathadits&id=50
[34] Syaikh
'Utsman 'Ali Hasan, Mashâdir al-Istidlâl 'Ala Masâ`il al-I'tiqâd ,
Hal.42-48.
[35] Penggalan
dari materi Buletin an-Nur, dengan tema: Imam asy-Syafi'iy; pembelaannya
terhadap as-Sunnah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar