Senin, 30 Desember 2013

Klasifikasi Hadits Secara Kuantitas: Hadits Mutawattir, Ahad, dan Masyhur



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
Hadits merupakan sumber hukum utama bagi umat Islam setelah Alqur’an, ia berfungsi sebagai landasan hukum serta ajaran-ajaran yang terdapat dalam Alqur’an. Sulit membayangkan jika hanya Alqur’an saja yang dipahami dan didekati tanpa melalui hadits. Karena itulah hendaknya perhatian umat Islam terhadap hadits sejalan dengan perhatian mereka terhadap Alqur’an.
Mata kuliah Ulumul Hadits adalah salah satu bahan kuliah yang berhubungan tentang hadits maupun sunnah nabi Muhammad SAW. yang dimulai dari pengertian hadits atau sunnah, sejarah perkembangan hadits dimasa Rasulullah SAW. masa Khulafaur Rasyidin, masa sahabat disertai pengumpulan dan pembukuan hadits, serta cabang-cabang ilmu yang berhubungan dengan mempelajari ilmu-ilmu hadits (seperti rijalul hadits, jarh wa at-ta’dil, dan lain-lain), tingkatan hadits, macam-macam pembagian hadits, riwayat tokoh-tokoh ilmu hadits, dan lain-lainnya.
Ilmu hadits merupakan suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui betul tidaknya ucapan, perbuatan, keadaan atau lain-lainnya, yang ahli hadits katakan berasal dari Nabi Muhammad SAW.
Sanad menurut bahasa artinya “sandaran”,atau tempat kita bersandar. Menurut istilah ahli hadits, sanad diartikan dengan “jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadits”. Misalkan, seorang perawi berkata, “dikabarkan kepadaku oleh Malik yang menerimanya dari Nafi’, yang menerimanya dari Abdullah ibn Umar, bahwa Rasulullah bersabda….”, maka perkataan perawi tersebut “dikabarkan kepadaku oleh Malik…” sampai dengan “bersabda Rasul,” dinamakan dengan isnad. Isnad yaitu menerangkan sanad hadits (jalan menerima hadits) atau menghubungkan hadits kepada orang yang meriwayatkan sebagai sandaran[1], orang yang menerangkan hadits dengan menyebut sanadnya disebut musnid, sedangkan hadits yang disebut dengan diterangkan sanadnya yang sampai kepada Nabi SAW. dinamai musnad.
Matan mengandung arti “materi pembicaraan (teks/isi hadits) yang berada setelah penyebutan sanad”. Matan dalam ilmu Hadits ditujukan kepada lafadz-lafadz dan omongan yang terletak sesudah rawi dari akhir sanad[2].
Salah satu pembahasan yang akan dikaji disini adalah mengenai tingkatan hadits dari segi bilangan ruwah (jumlah orang yang meriwayatkannya) atau dikenal juga dengan kuantitas (jumlah) perawi/sanad, yang menurut ulama salaf dibagi tiga macam, yaitu[3]:
1.      Hadits mutawatir
2.      Hadits masyhur, dan
3.      Hadits ahad.[4]
Jika memiliki jalur (sanad) yang jumlah perawinya tidak terbatas pada bilangan yang pasti disebut hadits mutawatir. Sedangkan jika memiliki jalur (sanad) yang jumlah perawinya bisa dihitung dengan bilangan tertentu disebut hadits ahad.[5]
Dari segi pertalian sanad, membagi hadits kepada empat tingkat, yaitu:
a.       Hadits-hadits mutawatir
b.      Hadits-hadits masyhur, atau hadits-hadits mustafidh
c.       Hadits-hadits ahad (hadits-hadits khashshas) yang bersambung-sambung sanadnya.
d.      Hadits-hadits yang dalam rangkaian sanadnya ada yang gugur tidak bersambung-sambung, yakni hadits-hadits mursal, munqathi’, dsb.
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis akan membahas tentang “Klasifikasi Hadits Secara Kuantitas”, semoga dengan pembahasan ini dapat bermanfaat dan berguna bagi penulis khususnya serta bagi mahasiswa mahasiswi pascasarjana yang mengambil mata kuliah Ulumul hadits pada umumnya.

1.2  Rumusan Masalah
Yang menjadi rumusan masalah yang akan dikaji meliputi:
1.2.1     Apa pengertian hadits mutawatir, masyhur, dan ahad serta apa saja pembagiannya?
1.2.2     Apakah konsekuensi dari pengingkaan hadits mutawatir, masyhuur dan ahad?
1.2.3     Kenapa ada perbedaan pendapat ulama tentang kehujjahan hadits ahad?
1.2.4     Bagaimana kehujahan hadits ahad dalam persoalan aqidah?

1.3  Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1.      Mengetahui macam-macam hadits ditinjau dari segi kuantitasnya terdiri dari hadits mutawatir, Ahad, dan masyhur,
2.      Mengetahui konsekuensi pengingkaran dari hadits mutawatir, ahad, dan masyhur.
3.      Mengetahui perbedaan pendapat ulama tentang kehujjahan hadits ahad.
4.      Mengetahui kehujjahan hadits ahad dalam persoalan aqidah.

1.4  Manfaat Penulisan
Penulisan makalah ini adalah agar kita dapat mengetahui klasifikasi hadits dari segi kuantitasnya, sehingga nantinya kita nantinya lebih dapat memahami macam-macam hadits tersebut, serta hal-hal yang berhubungan dengan pengingkaran dan kehujjahan hadits tersebut.


 BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Klasifikasi Hadits Secara Kuantitas
Ulama berbeda pendapat tentang pembagian hadits yang ditinjau dari segi kuantitas ini. Maksud dari segi kuantitas disini adalah dengan menelusuri jumlah para perawi yang menjadi sumber adanya suatu hadits. Para ahli ulama ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu hadits mutawatir, masyhur, dan ahad, ada juga yang membaginya hanya dua saja yaitu hadits mutawatir, dan ahad.
Pendapat pertama yang menjadikan hadits masyhur berdiri sendiri dan tidak termasuk bagian dari hadits ahad, dianut oleh sebagian ahli ushul, salah satunya Abu Bakar Al-Jassas (305-370 H). Pendapat kedua diikuti oleh kebanyakan ulama ushul dan ilmu kalam, menurut mereka hadits masyhur bukan merupakan hadits yang berdiri sendiri, akan tetapi hanya bagian dari hadits ahad, sehingga mereka membaginya menjadi dua macam saja yaitu mutawatir dan ahad[6].
Menurut Mahmud Thahhan, ditinjau dari segi kuantitas (jumlah) perawi/ sanadnya, maka Hadits terbagi menjadi 2 macam[7]:
1.      Jika memiliki jalur (sanad) yang jumlah perawinya tidak terbatas pada bilangan yang pasti, maka disebut dengan Hadits Mutawatir.
2.      Jika memiliki jalur (sanad) yang jumlah perawinya bisa dihitung dengan bilangan tertentu, disebut dengan Hadits Ahad.
Kedua macam hadits diatas masing-masing mempunyai pembagian dan rinciannya tersendiri.

2.2  Pengertian Mutawatir, Masyhur, Ahad Dan Pembagiannya
2.2.1        Pengertian Hadits Mutawatir serta Pembagiannya
Kata mutawatir  menurut lughah ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain. Sedang menurut istilah adalah “suatu hadits yang dapat ditangkap panca indera dan diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan, mereka mustahil berkumpul dan bersepakat untuk dusta”. Pengertian ini mengecualikan 2 hal. Pertama, segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada panca indera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, tidaklah terkategori terhadap hadist ini. Kedua, berita yang dapat diindera dan diriwayatkan oleh perawi yang banyak tetapi mereka dimungkinkan untuk berserikat dan membuat hadist dusta, juga tidak bisa dimasukkan menjadi hadist ini.
Tentang seberapa banyak perawi yang dimaksud dalam pengertian hadist ini, masih belum ada ketentuan yang jelas. Sehingga menimbulkan perselisihan para ulama’ tentang seberapa banyak jumlah perawi agar suatu hadist bisa dikatakan mutawatir. Namun meski berbeda pendapat, masing-masing ulama’ memiliki argumentasi yang berbeda-beda sesuai dengan pemahamannya masing-masing.
Diantaranya, Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang, hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim. Sedangkan Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5 orang, hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi. Sebagian ulama yang lain menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang, hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65). Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang.[8] Namun pendapat yang benar adalah semua batasan jumlah ini tidak dapat menjamin sepenuhnya, melainkan yang sangat dipertimbangkan adalah adanya suatu keyakinan atas kebenaran berita tersebut.
Diantara contoh hadits mutawatir adalah hadits[9]:
مَنْ كَذَ بَ عَلَيً مُتَعَمـدا فليتبوأ مقعده من النار.
Artinya: “Barangsiapa berbuat dusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menempati tempat tinggalnya di neraka” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits ini diriwayatkan dari Nabi SAW. dengan redaksi yang sama oleh 70 orang sahabat lebih.
Menurut Syaikh Manna’ Al-Qaththan[10], mutawatir menurut bahasa adalah isim fa’il dari at-tawatur yang artinya berurutan. Menurut istilah, mutawatir adalah “apa yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang menurut kebiasaan mereka terhindar dari melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir sanad”. Atau “hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap tingkatan sanadnya menurut akal tidak mungkin para perawi tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadits, dan mereka bersandar dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat diketahui dengan indera seperti pendengaran dan semacamnya”.
Sedangkan menurut Zeid B. Smeer[11], hadits mutawatir adalah “hadits yang diriwayatkan dari kelompok ke kelompok pada tiap tataran (thabaqoh) dengan jumlah perawi yang banyak, sehingga akal menyatakan mustahil mereka sepakat untuk bohong, dan proses tersebut dapat diindera oleh panca indera”.

  Ø   Syarat-syarat Hadits Mutawatir
Berdasarkan berbagai definisi diatas, menurut ulama mutaakhirin, ahli ushul, bahwa suatu hadits dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi empat syarat berikut[12]:
1.      Diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi. Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan jumlah minimalnya dan menurut pendapat yang terpilih minimal 10 perawi[13]. Menurut ulama yang tidak mensyaratkan jumlah tertentu, yang penting dengan jumlah itu, menurut adat, dapat memberikan keyakinan terhadap apa yang diberitakan dan mustahil mereka bersepakat untuk berdusta[14].
2.      Perawi yang banyak ini harus terdapat dalam semua thabaqat (generasi) sanad atau adanya keseimbangan antar perawi pada thabaqat pertama dengan thabaqat berikutnya.
3.      Secara rasional dan menurut kebiasaan (adat), para perawi tersebut mustahil sepakat untuk berdusta.
4.      Sandaran beritanya adalah panca indera dan ditandai dengan kata-kata yang digunakan dalam meriwayatkan sebuah hadits, seperti: kata سمعنا (kami telah mendengar), رأينا (kami telah melihat), لمسنا (kami telah menyentuh), dan sebagainya. Jika sandaran beritanya adalah akal semata, seperti: pendapat tentang alam semesta yang bersifat huduuts (yang baru), maka hadits tersebut tidak disebut hadits mutawatir.

  Ø   Pembagian Hadits Mutawatir
Menurut sebagian ulama, hadits mutawatir itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu mutawatir lafzhi dan mutawatir ma’nawiy[15]. Ada juga yang membaginya menjadi tiga bagian dengan menambah hadits mutawatir ‘amaliy[16].
1.      Mutawatir Lafzhi, adalah hadits mutawatir yang berkaitan dengan lafad perkataan Nabi SAW. Artinya perkataan Nabi yang diriwayatkan oleh orang banyak kepada orang banyak. Contohnya:
مَنْ كَذَ بَ عَلَيً مُتَعَمـدا فليتبوأ مقعده من النار.
Artinya: “Barangsiapa berbuat dusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menempati tempat tinggalnya di neraka” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits ini diriwayatkan oleh 70 orang sahabat.
2.      Mutawatir ma’nawiy, adalah hadits mutawatir yang menyangkut amal perbuatan nabi SAW., atau beberapa hadits yang bisa jadi riwayatnya tidak mutawatir namun jika riawayat tersebut dikumpulkan maka terdapat satu makna yang sama[17]. Contohnya hadits tentang nabi SAW. yang mengangkat kedua tangannya ketika berdo’a:
قال أبو موسى الأشعري دعا النبي صلى الله عليه وسلم ثم رفع يد يه ورأيت بياض ﺇبطيه
“Abu Musa al-Asy’ari berkata: Nabi SAW. berdo’a kemudian dia mengangkat kedua tangannya dan aku melihat putih-putih kedua ketiaknya” (HR. Bukhari).
  Hadits seperti ini diiwayatkan dari Nabi SAW. berjumlah sekitar 100 hadits dengan redaksi yang berbeda-beda, tapi mempunyai persamaan, yaitu keadaan Nabi SAW. mengangkat tangan saat berdo’a.
3.      Mutawatir ‘amali, adalah sesuatu yang dketahui dengan mudah bahwa dia termasuk urusan agama dan telah mutawatir antara umat Islam, bahwa nabi SAW. Mengerjakannya, menyuruhnya, atau selain dari itu, dan pengertian ini sesuai dengan ta’rif ijma’. Hadits mutawatir ‘amali ini banyak jumlahnya, seperti hadits yang menerangkan waktu shalat, raka’at shalat, shalat jenazah, shalat ‘id, tata cara shalat, pelaksanaan haji, kadar zakat harta, dan lain-lain.

2.2.2         Pengertian Hadits Masyhur dan Pembagiannya
Al-syuhrah (kemasyhuran) secara etimologis berarti tersebar dan tersiar. Adapun pengertian  Al-syuhrah, dalam kaitannya dengan hadits masyhur menurut  kebanyakan ahli hadits yaitu “hadits masyhur adalah hadits yang memiliki sanad terbatas yang lebih dari dua atau sekurang-kurangnya diriwayatkan oleh tiga orang[18].
Hadits masyhur, yang disambut baik oleh ulama abad ke-2 dan ke-3 serta telah terkenal baik diantara mereka, walaupun dipandang sebagai hadits ahad namun ulama Hanafiyah menjadikannya lebih tinggi daripada hadits ahad yang ain yang tidak masyhur. Mereka menjadikan hadits masyhur diantarahaits mutawatir dan ahad. Ulama Hanafiyah mentakhsiskan Alqur’an dengannya dan menambah hukum-hukum yang tidak terdapat dalam Alqur’an dengannya. Hadits ahad yang lain tidak diberikan fungsi ini.

  ØHadits masyhur dari segi diterima atau ditolak, dibagi menjadi 3 bagian, yaitu shahih, hasan, dan dha’if. Contoh hadits masyhur yang shahih adalah[19]:
ﺇنما لأعمال باالنيات.
“Bahwasanya segala amal itu dengan niat”.
Hadits ini termasuk muttafaq ‘alaih (disetujui keshahihannya oleh Bukhari dan Muslim).
Contoh hadits masyhur yang hasan:
لاضرر ولا ضرار.                                                                         
             “Tidak boleh membiarkan bahaya datang dan tidak boleh mendatangkan bahaya”.
               Hadits ini diriwayatkan dari nabi SAW, melalui banyak sanad yang dapat menempatkannya dalam derajat hasan atau shahih. Hadits ini dinilai hasan oleh al-Nawawi dalam kitab al-Arba’in.
               Contoh hadits masyhur yang dha’if:
أطلبوا العم ولو بالصين.
             “Carilah ilmu walaupun ke negeri China”.
             Hadits ini diriwayatkan melalui banyak sanad dari Anas dan Abu Hurairah, namun semua sanadnya tidak terbebas dari rawi yang cacat (majruh) dengan pencacatan (jarh) yang cukup serius. Oleh karena itu, hadits diatas merupakan bagian dari hadits masyhur yang dha’if.

  ØDari segi lingkungan tersiar atau tersebarnya (tempat kemasyhurannya), maka hadits masyhur terbagi menjadi banyak bagian, antara lain:
1. Hadits masyhur dikalangan ahli hadits saja.
2. Hadits masyhur dikalangan Muhadditsin, ulama lain serta masyarakat umum.
3. Hadits masyhur dikalangan fuqaha.
4. Hadits masyhur dikalangan ahli ushul fiqh.
5. Hadits masyhur dikalangan ulama ahli bahasa Arab.
6. Hadits masyhur dikalangan ahli pendidikan.
7. Hadits masyhur dikalangan umum.
2.2.3        Pengertian Hadits Ahad dan Pembagiannya
 Hadits Ahad adalah “hadits yang periwayatannya tidak mencapai jumlah banyak orang, hingga tidak mencapai mutawâtir”. Hadits Ahad yang ditinjau dari segi jumlah perawi dalam sanadnya, dibagi menjadi 3 macam, yaitu:
1.      Hadits gharib
2.      Hadits ‘aziz
3.      Hadits masyhur, disebut juga al-Mustafidh.
Bila hadits ahad yang diriwayatkan oleh satu orang pada setiap jenjangnya maka dinamakan hadits gharîb. Bila diriwayatkan oleh dua orang pada setiap jenjangnya disebut dengan Hadits 'Azîz. Sedangkan Hadits Ahâd yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi namun tidak mencapai derajat mutawatir disebut Hadits Masyhûr. Jadi, Hadits Ahâd itu hadits yang tidak sampai pada syarat-syarat mutawatir.
Hadits gharib ditinjau dari segi sifat penyendiriannya, terbagi menjadi gharib mutlak dan gharib nisbi. Gharib mutlak yaitu bilamana kesendirian (gharabah) periwayatan terdapat pada asal sanadnya (sahabat). Sedangkan gharib nisbi adalah apabila keghariban terjadi pada pertengahan sanadnya bukan pada asal sanadnya.
   Ø  Salah satu contoh hadits masyhur[20]:
ﺇن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من العباد.
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan menggenggam ilmu pengetahuan dengan mencabutnya dari para hamba”.
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Syaikhan (Bukhari dan Muslim), Turmudzi, Ibnu Majah, dan Ahmad.
   Ø  Contoh hadits ‘aziz yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas dan diriwayatkan Buhari dari Abi Hurairah:
لا يؤمناحدكم حتى اكون أحب ﺇليه من ولده ووالده والناس أجمعين.
Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah SAW, bersabda:Tidaklah beriman seseorang diantara kamu, sehingga aku lebih dicintai daripada dirinya sendiri, orang tuanya, puteranya dan manusia semuanya”.
   Ø  Contoh hadits gharib mutlak pada hadits Nabi SAW[21].:
الولاء لحمة كلحمة السنب لايباع ولايوهب.
Artinya: “Kekerabatan dengan jalan memerdekakan, sama dengan kekerabatan dengan nasab, tidak boleh dijual dan tidak boleh dihibahkan”.
Hadits ini diterima dari Nabi SAW, oleh Ibnu Umar dan dari Ibnu Umar hanya Abdullah ibnu Dinar saja yang meriwayatkannya. Abdullah ibnu Dinar adalah seorang tabi’i yang dapat dipercaya.
 Ø  Contoh gharib nisbi pada hadits Malik dari Zuhri dari Anas r.a bahwa “Nabi SAW. masuk kota Makkah dengan mengenakan penutup kepala diatas kepalanya”. Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Malik dari Zuhri, dinamakan dengan gharib nisbi karena kesendirian periwayatan hanya terjadi pada perawi tertentu.

2.3  Konsekuensi Pengingkaran Hadits Mutawatir, Masyhur, dan Ahad
Pengingkaran adanya ijma tentang keshahihan hadits tidak mempunyai dasar. Umat Islam telah sepakat tentang keshahihan hadits yang termuat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dan mereka menerimanya dengan baik. Para ulama juga telah menegaskan kedudukan kedua kitab ini sebagai kitab yang paling shahih setelah Al-Qur'an. Tidak ada satu orang pun yang mengingkari hal ini, kecuali Harun[22] dan yang sehaluan dengannya. Penolakan ini tidak berpengaruh pada ijma atas keshahihan hadits dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Pengingkarannya yang bersifat umum itu jauh dari sikap jujur dan objektivitas yang merupakan ciri penelitian ilmiah. Bagaimana mungkin ia menggeneralisasi pengingkaran, padahal tidak ada yang mengingkari, kecuali dirinya dan orang yang sepemikiran dengannya. Sikap menggeneralisasi ini tidak dapat diterima dan sekaligus bukti bahwa murid-murid kaum orientalis tidak memiliki objektivitas seperti yang mereka klaim.
Tuduhannya bahwa hadits berbeda dengan Al-Qur'an yang merupakan wahyu Allah juga tidak bisa diterima. Alasannya, sabda Rasulullah saw. adalah wahyu, sesuai firman Allah yang artinya sebagai berikut. "Dan tiadalah yang diucapkan itu (Al-Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya." (An-Najm: 3-4). Beliau ditugaskan untuk menyampaikan sunnahnya, seperti ia ditugaskan untuk menyampaikan Al-Qur'an.
Simpulan Harun bahwa kedudukan hujjah sunnah tidak seperti hujjah Al-Qur'an dari segi kekuatan, kadang-kadang dapat diterima jika ia berdiri sendiri. Namun, introduksi yang ia sampaikan sama sekali keliru. Sunnah adalah hujjah, seperti halnya Al-Qur'an dan menempati posisi sumber hukum kedua. Ia juga independen dalam penetapan syariat. Kedudukan hujjah sunnah dibuktikan oleh nash Al-Qur'an itu sendiri. Allah SWT berfirman, "Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah." (Al-Hasyr: 7).
Hadits ahad atau juga populer dengan sebutan khabar wahid ialah hadits yang tidak sampai ke tingkat mutawatir. Secara ilmiah, ulama hadits membagi hadits berdasarkan jumlah perawinya menjadi dua bagian: hadits mutawatir dan hadits ahad. Hadits mutawatir  ialah hadits yang diriwayatkan oleh para rawi dalam jumlah besar orang yang tidak memungkinkan mereka bersepakat untuk berdusta. Hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir disebut dengan khabar wahid.
Perlu diketahui, keshahihan suatu hadits tidak bergantung pada banyak sedikitnya jumlah rawi. Faktor penentu dan utama sebuah hadits dikategorikan shahih atau tidak adalah kualitas atau kredibilitas perawi, apakah dia seorang terpercaya (tsiqah) atau seorang tertuduh berdusta. Ketika satu hadits diriwayatkan oleh sedikit orang, atau katakan satu orang saja, ia tidak otomatis telah dikategorikan dha'if (lemah). Di bawah hadits ahad itu terhimpun tiga jenis hadits: masyhur, 'aziz, dan gharib. Jadi, apabila termasuk ahad, sebuah hadits tidak langsung berarti diriwayatkan oleh satu orang perawi saja.
Para ulama sepakat bahwa kedudukan hadits ahad sebagai hujjah harus diamalkan. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat terhadap simpulan yang dihasilkan hadits ini. Para ahli fikih dan mayoritas ahli hadits berpandangan bahwa hadits ahad yang diriwayatkan oleh perawi yang berintegritas baik adalah hujjah yang harus diamalkan dalam masalah agama, tetapi tiak memberikan simpulan yang bersifat pasti (ilmul yaqin). Sebagian ahli hadits, seperti Imam Ahmad bin Hambal, bersimpulan bahwa hadits ahad juga memberi simpulan yang bersifat pasti. Pendapat ini juga disebutkan dari Imam Malik.[23]
Apa pun persoalannya, dapat dikatakan bahwa hadits ahad menurut ulama adalah dapat dipercaya. Ia dirujuk dalam menentukan halal dan haram dan mereka menggolongkannya sebagai salah satu sumber syariat.
Pada abad kedua Hijriah muncul segelintir orang yang berbeda pendapat dari ijma (kesepakatan) umat dan mengingkari kedudukan hadits ahad. Sebagian lagi bersikap berlebih-lebihan sampai tingkat mengingkari kedudukan hadits-hadits mutawatir. Al-Baghdadi menjelaskan dalam bukunya Al-Farq Baina al-Firaq bahwa mereka itu adalah kaum Mu'tazilah. Ia berkata, "Sesungguhnya An-Nazzham (230 H) berkata bahwa hadits mutawatir meskipun diriwayatkan oleh banyak perawi bisa saja terdapat kedustaan di dalamnya."[24]
Ibnu Hazm menguatkan perkataan Al-Baghdadi, "Seluruh kaum Muslimin menerima hadits ahad yang diriwayatkan perawi yang bisa dipercaya dari Nabi saw. Hal ini terus berlangsung dan diterima oleh berbagai kalangan, seperti Ahluss Sunnah, Khawarij, Syi'ah, dan Qadariyah sehingga muncullah para ulama Mu'tazilah setelah berlalu satu abad. Maka, mereka menyalahi ijma dalam masalah ini."[25]
Dari sisi lain, Harun mengklaim bahwa yang disepakati kehujjahannya hanya hadits mutawatir, sedangkan hadits masyhur dan ahad kedudukannya dipertentangkan. Ia menulis, "Yang disepakati semua golongan umat Islam untuk dapat dipakai sebagai sumber hukum adalah hadits mutawatir. Hadits masyhur dan ahad ada yang mau menerimanya dan ada pula yang tidak mau menerimanya, golongan Mu'tazilah umpamanya."
Kita katakan bahwa tuduhan ini sebenarnya bukan hal baru. Seperti kita ketahui, tuduhan ini sudah muncul sejak lama. Imam Syafi'i telah berhadapan dengan pendukung pendapat ini pada abad kedua Hijriah, berdebat langsung dengan orang-orang yang mengingkari kedudukan hujjah hadits ahad dan membantah mereka dengan argumentasi ilmiah, baik bersifat naql dari Al-Qur'an dan sunnah maupun akal.
Perdebatan ini terdokumentasikan dalam bukunya, Ar-Risalah. Sayangnya, Imam Syafi'i tidak menyebutkan identitas orang yang didebatnya, dan dari kelompok mana mereka berasal. Namun, beliau menyebutkan bahwa mereka tinggal di Bashrah, dan kebanyakan para ahli ilmu kalam itu, termasuk di dalamnya Mu'tazilah, saat itu berada di Bashrah.
Di tempat lain, Al-Hafidz al-Hazimi mengungkapkan bahwa orang yang mengingkari adalah kaum Mu'tazilah, dengan menegaskan bahwa hal ini dimaksudkan untuk menghancurkan hukum karena kebanyakan hukum syariat ditetapkan berdasarkan hadits-hadits ahad. Jika berargumentasi dengan hadits-hadits ahad itu dianggap tidak sah, dengan sendirinya hukum-hukum syariat dianggap tidak sah pula. Al-Hazimi berkata, "Saya tidak pernah mendengar seorang pun dari firqah (aliran) Islam yang mempersoalkan keberadaan hadits ahad, kecuali kalangan Mu'tazilah. Mereka menganalogikan (menyamakan hukum) riwayat dengan kesaksian ...." Sasaran mereka adalah meruntuhkan hukum-hukum syariat, seperti dikatakan Abu Hatim bin Hibban."[26] Imam Syafi'i yang bergelar "Nashir as-Sunnah" (Pembela Sunnah) mengemukakan beberapa dalil yang menunjukkan bahwa hadits ahad adalah hujjah dan menantang para pengingkarnya. Beberapa pembelaannya antara lain sebagai berikut.
1.      Abdullah bin Mas'ud r.a. meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, "Semoga Allah mencerahkan wajah hamba-Nya yang mendengar sabdaku, menghafal, memahami, dan menyampaikannya. Bisa saja orang yang meriwayatkan tidak paham apa yang diriwayatkannya, mungkin saja orang yang mendengar lebih paham dari perawi yang meriwayatkannya."
2.   Imam Syafi'i menjelaskan segi argumentasi hadits ini, "Rasulullah saw. memotivasi seseorang untuk mendengar, menghafal, dan menyampaikan sabdanya”. Kata "seseorang" di sini artinya satu. Ini menunjukkan bahwa Nabi memerintahkan satu orang untuk menyampaikan apa yang terkait dengan halal, haram, hukuman yang harus dilaksanakan, harta yang harus diambil dan diberikan, dan nasihat soal agama dan dunia. Berarti, berita dari satu orang adalah hujjah." (Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi'i (150-204 H), Ar-Risalah, tahqiq Syaikh Ahmad Syakir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hlm. 402-403).
3.    Diriwayatkan dari Abu Rafi' bahwa Nabi saw. bersabda, "Aku tidak sekali-kali mendapat salah seorang dari kalian yang duduk di atas tempat duduknya, lalu datang urusanku yang berkaitan dengan yang aku larang atau aku perintahkan, lalu ia berkata, 'Kami tidak tahu. Apa yang kami dapati dalam kitab Allah itulah yang kami ikuti'." (R Al-Hakim).
Argumentasi hadits, seperti disebutkan Imam Syafi'i, adalah "Bahwa berita dari Rasulullah saw. harus dilaksanakan, meskipun mereka tidak menemukan nash dalam kitab Allah."[27]
Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a., ia berkata, "Ketika orang berada di Quba' untuk melaksanakan shalat shubuh, seseorang datang dan berkata, 'Sesungguhnya telah turun ayat Al-Qur'an kepada Rasulullah saw., dan ia diperintahkan untuk menghadap kiblat ke Kakbah. Mereka lalu menghadap Kakbah, padahal sebelumnya menghadap ke Syam, lalu mereka memutar badan menghadap Kakbah'." [28](
Sisi argumentasi kisah ini, penduduk Quba menghadap ke kibat yang telah ditetapkan oleh Allah, dan mereka tidak meninggalkan kewajiban ini, hingga terdapat hujjah (dalil). Ketika pembawa berita tentang perubahan kiblat, mereka tidak menunggu hingga Rasulullah saw. datang untuk menguatkan berita ini. Mereka juga tidak bersikap tawaquf (abstain) terhadap keshahihan berita tersebut hingga tersebar luas di tengah-tengah masyarakat. Akan tetapi, mereka segera menghadap ke Kakbah dengan alasan hadits yang dibawa satu orang, dan Rasulullah saw. tidak mengingkari sikap mereka. Jika hadits ahad yang mereka amalkan itu tidak dapat dijadikan hujjah, insya Allah mereka akan berkata, "Kalian sudah menghadap kiblat. Kalian tidak boleh meninggalkannya, kecuali telah mengetahui betul hingga dapat dijadikan hujjah dari pendengaran kalian dariku, atau berita umum, atau lebih dari berita satu orang dariku."[29] Akan tetapi, hal itu tidak terjadi. Sangat banyak nash-nash sunnah yang disampaikan Imam Syafi'i. Semuanya tegas menunjukkan bahwa hadits ahad dapat dijadikan hujjah jika pembawa berita memiliki integritas yang baik.
Dari sini, jelaslah bagi kita bahwa hadits ahad adalah hujjah dan harus diamalkan. Umat Islam telah sepakat akan hal ini. Adapun pengingkaran kaum Mu'tazilah seperti disebutkan Harun tidak diperhitungkan dan tidak bisa dijadikan cacat yang merusak ijma. Alasannya, mereka menyimpang dari garis besar Islam, selain tidak memiliki argumentasi yang kuat.
Dari segi lain, Mu'tazilah telah mengingkari sunnah secara keseluruhan, termasuk di dalamnya hadits-hadits mutawatir. Ini tidak seperti dugaan Harun bahwa mereka hanya mengingkari hadits ahad dan masyhur. Dengan demikian, jelaslah bahwa berbagai tuduhan yang dilemparkan oleh Harun Nasution seputar hadits sama sekali tidak punya basis argumentasi yang kuat. Semua itu dibangun oleh dugaan dan merupakan pengulangan terhadap pernyataan orientalis tanpa sikap kritis.
2.4 Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Kehujjahan Hadits Ahad
Hujjah atau Hujjat (bahasa Arab: الحجة) adalah istilah yang banyak digunakan didalam Al-Qur'an dan literatur Islam yang bermakna tanda, bukti, dalil, alasan atau argumentasi. Sehingga kata kerja "berhujjah" diartikan sebagai "memberikan alasan-alasan". Sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur’an:
قُلْ فَلِلّهِ الْحُجَّةُ الْبَالِغَةُ فَلَوْ شَاء لَهَدَاكُمْ أَجْمَعِينَ .
Artinya: “Katakanlah: “Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat; maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya”. (QS. Al-An’am:149).
Kadangkala kata hujjah disinonimkan dengan kata burhan[30], yaitu argumentasi yang valid, sehingga dihasilkan kesimpulan yang dapat diyakini dan dipertanggungjawabkan akan kebenarannya. Dari pengertian seperti itulah hujjah dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu hujjah naqliyyah dan hujjah ‘aqliyyah.

1.      Hujjah Naqliyyah (Argumentasi Dogmatikal/Doktrin)

حجة نقلية هي ما كان من الكتاب والسنة والإجماع Hujjah Naqliyah ialah suatu keterangan, bukti, alasan, atau argumentasi yang diambil (dinukil) dari firman Allah (Al-Qur'an) dan sunnah rasul-Nya (Hadits) serta sunnah para sahabatnya (yaitu Khulafaur Rasyiddin)[31] dan ijma' mereka.

2.      Hujjah ‘Aqliyyah (Argumentasi Rasional/Akal)

Hujjah ‘Aqliyyah maksudnya keterangan, alasan, bukti atau argumentasi yang berdasarkan pada hasil pemikiran manusia secara logis dan sistematis. Berfikir seperti inilah yang kemudian menjadikan sebuah metode pengembangan ilmu sebagai salah satu bukti akan berkembangnya konsep epistimologi dalam Islam. Hal ini dapat dapat dibultikan dengan cara memperlihatkan bagaimana ilmu itu diturunkan kepada orang, dan untuk menjawab pertanyaan ini tidak bisa dengan hanya melakukan observasi dan eksperimen saja, sebab untuk memulai progam pengkajian, diperlukanlah hipotesis dan untuk bisa sampai pada jumlah hipotesis diperlukanlah adanya proses berfikir dan berimajinasi yang intens, sehingga dari hipotesis tersebut dapat dilakukan observasi dan eksperimen untuk kemudian mendapatkan suatu hasil penelitian atau penemuan-penemuan sekalipun hasil akhirnya masih sangat terbatas.
Hadits Ahâd menurut Muhadditsin (para ahli hadits) dan Jumhur (mayoritas) ulama muslimin, wajib diamalkan apabila memenuhi syarat keshahihan dan diterimanya hadits itu[32]. Dalam hal ini, terdapat 3 pendapat seputar masalah: Apakah Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd dapat memberikan informasi yang pasti (bersifat keilmuan dan yaqin)[33]?

I. Pendapat Pertama:
Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd dapat memberikan informasi yang pasti (bersifat keilmuan dan yaqin) secara mutlak/total.
Ini adalah pendapat yang dinisbahkan (dilekatkan) kepada Imam as-Sunnah, Imam Ahmad dan Madzhab Ahl azh-Zhâhir (Zhâiyyah), namun  penisbahan ini tidak benar sama sekali. Imam Ahmad dikenal sebagai Ahli al-Jarh wa at-Ta'dîl (ulama kritikus Hadits) dan tidak dapat dihitung berapa banyak bantahan beliau terhadap hadits-hadits yang diriwayatkan para periwayat kategori lemah. Dan ini cukup sebagai bantahan terhadap apa yang dituduhkan kepada diri beliau tersebut.
Sedangkan Ibn Hazm, sebagai salah seorang Ahl azh-Zhâhir mengaitkan berfungsinya Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd sebagai pemberi informasi ilmu (hal yang yaqin dan pasti) dengan 'adâlah (keadilan) sang perawi hadits.
Bantahan Terhadap Pendapat Pertama Ini
Pendapat tersebut jelas-jelas tidak benar dan tidak masuk akal, sebab bagaimana mungkin kita bisa membayangkan ada orang berakal yang membenarkan semua berita yang didengarnya, padahal kita tahu bahwa ada sekelompok manusia yang dikenal hobi berbohong dan suka lalai.

II. Pendapat Kedua
Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd tidak dapat memberikan informasi yang pasti (bersifat keilmuan dan yaqin) secara mutlak/total.
Ini adalah pendapat sebagian Ahli Kalam (Mutakallimin) dan Ulama Ushul Fiqih (Ushuliyyun) sekalipun sebagian dari ulama Ushul ini seperti al-Juwainiy dan Abu Manshur al-Baghdadiy telah menyebutkan di dalam sebagian kitab mereka pendapat yang justeru sepakat dengan Pendapat Ketiga nanti. Demikian juga, penisbahan pendapat ini kepada mayoritas Ahli Fiqih dan Ahli Hadits perlu dikritisi dan diberikan catatan terlebih dahulu.
Jawaban Terhadap Pendapat Tersebut
Kalau argumentasi anda demikian, maka kami juga akan katakan bahwa terhadap Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd tersebut, justeru kami mendapatkan pada diri kami informasi ilmu dan kepastian tentangnya, bukan seperti yang anda katakan bahwa antara yang satu dengan yang lain tidak ada yang lebih unggul. Manakala anda tidak mendapatkan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin) pada diri anda, maka itu urusan pribadi anda, tidak boleh digeneralisir sebab ia hanyalah pemberitaan terhadap apa yang ada di dalam diri anda sendiri. Hal ini dikarenakan, anda tidak memiliki jalur-jalur yang dapat menginformasikan ilmu kepada anda sebagaimana yang didapat oleh Ahlussunnah dan al-Hadits, yang memang melakoninya dan menghabiskan usia mereka untuk mendapatkan dan mencarinya.
Karena itu, kami katakan kepada orang yang menolak Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd tersebut, "Alihkan perhatian anda kepada hadits, antusiaslah untuk itu, kumpulkan, telusuri jalur-jalurnya, kenali kondisi para periwayat dan biografi mereka, jadikan hal itu sebagai tumpuan tuntutan dan akhir tujuan anda. Bila hal ini anda lakukan, maka ketika itu anda akan mengetahui: "Apakah Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd tersebut memberikan informasi ilmu kepada anda atau tidak?." Sedangkan bila anda ogah-ogahan terhadapnya dan di dalam mencarinya, maka sudah tentu ia tidak akan memberikan informasi ilmu kepada anda. Nah, andaikata anda tetap juga mengatakan bahwa ia tidak memberikan informasi ilmu kepada anda karena menduga-duga; maka itu artinya, anda telah menginformasikan berita yang terkait dengan bagian dan jatah anda sendiri dari hal itu (yang tidak anda ketahui sehingga tidak perlu melibatkan orang lain).

III. Pendapat Ketiga
Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd memberikan informasi yang pasti (bersifat keilmuan dan yaqin) secara bersyarat
Inilah pendapat yang shahih.
Yang dimaksud di sini adalah Khabar (berita) yang dipertegas dengan Qarâ`in (dalil-dalil penguat), sementara Qarînah (bentuk tunggal dari Qarâ`in) bisa jadi terkait dengan khabar itu sendiri; bisa jadi terkait dengan Mukhbir (pembawa berita) dan bisa jadi terkait dengan kedua-duanya. Termasuk dalam hal ini, Khabar Mustafîdl (berita yang demikian banyak, tak terhingga) yang pada awalnya hanya diriwayatkan oleh seorang, lalu menjadi banyak dan masyhur dan Khabar yang sudah mendapatkan penerimaan dari umat (al-Khabar al-Mutalaqqa 'Indal Ummah bi al-Qabûl), atau oleh sebagian ulama terkait di bidangnya yang diantaranya ada diriwayatkan oleh asy-Syaikhân (Imam Bukhariy dan Muslim) atau salah seorang dari keduanya, diantaranya juga ada yang merupakan hadits Musalsal (bermata rantai) dengan para Imam yang Hâfizh seperti Imam Malik dari Nafi' dari Ibn 'Umar. Khabar ini dan sejenisnya jelas memberikan informasi ilmu menurut jumhur Ahli Hadits, Ahli Ushul, mayoritas Ahli Kalam, semua Ulama Salaf dan para Ahli Fiqih umat. Dalam masalah ini, antara ulama Salaf tidak terdapat perselisihan pendapat.

Argumentasi-Argumentasi Pendapat Ketiga
        Dalil-dalil (argumentasi-argumentasi) bagi pendapat ketiga ini banyak sekali, diantaranya:
  • Membeda-bedakan antara Khabar al-Wâhid (Hadîts Ahâd) dan Hadits Mutawatir di dalam menginformasikan ilmu merupakan peristilahan (term) yang dibuat-buat, tidak didukung oleh dalil dari Kitabullah, sunnah Rasul-Nya, tidak pernah dikenal oleh para shahabat ataupun para Tabi'in. Realitasnya, informasi yang disampaikan langsung oleh Rasulullah dibenarkan oleh kaum Mukminin (para shahabat) tanpa mereka perlu mendapatkannya melalui pembawa-pembawa berita yang mutawatir (dalam jumlah banyak). Demikian pula sebaliknya, Rasulullah sendiri membenarkan berita/informasi yang disampaikan oleh para shahabat beliau. Para shahabat, satu sama lainnya juga saling membenarkan, demikian pula dengan para Tabi'in, mereka membenarkan berita yang dibawa oleh para shahabat dan sejawat-sejawat mereka.. Masalah adanya diantara mereka, orang yang abstain (tawaqquf) terhadap suatu informasi hingga mendapatkan penegasan dari orang lain, tidak berarti sama sekali bahwa mereka semua menolak Khabar Ahâd. Hanya saja, memang dalam momen yang amat jarang, mereka sangat ekstra hati-hati di dalam menerima informasi. Oleh karena itu, kami tegaskan bahwa Khabar Ahâd (Khabar al-Wâhid) memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin) secara bersyarat. Sebab, pendapat yang menyatakan bahwa Khabar Ahâd (Khabar al-Wâhid) tidak memberikan informasi ilmu secara mutlak justeru dapat memandegkan urusan dien dan dunia sekaligus. Ini adalah bentuk pembatalan yang terang-terangan terhadap ijma' para shahabat, Tabi'in dan para ulama setelah mereka.
  • Rasulullah pernah mengirimkan para shahabatnya kepada para raja dan penguasa untuk menyampaikan risalah Rabb-nya secara orang per-orang (Ahâd). Andaikata khabar yang mereka bawa tidak memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin), tentu beliau tidak akan pernah mengirimkan mereka secara per-orangan seperti itu, sebab jelas hal itu perbuatan sia-sia yang amat jauh dari kepribadian seorang pembawa Risalah yang seharusnya bersih dari melakukan kesia-siaan seperti itu.
  • Ketika ada seorang yang memberitakan kepada kaum Muslimin saat mereka sedang shalat shubuh (atau shalat lainnya) di Quba` bahwa kiblat telah dialihkan ke arah Ka'bah, mereka serta-merta menerima khabar yang dibawanya dan meninggalkan hujjah yang masih mereka pegang dan bersifat pasti, lalu mereka memutar ke belakang mengarah ke Kiblat sebagai pemenuhan terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya yang disampaikan kepada mereka sekalipun hanya melalui jalur satu orang. Kenyataannya, Rasulullah tidak mengingkari sikap mereka terhadap hal itu, bahkan sebaliknya, berterimakasih atas tindakan mereka tersebut.
2.5  Kehujjahan Hadits Ahad Dalam Persoalan ‘Aqidah
           Para pemegang pendapat kedua diatas, yang menyatakan bahwa Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) tidak memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin), melandasi pendapat mereka tersebut dengan kerangka berfikir : tidak boleh berhujjah dengannya di dalam masalah 'Aqidah karena masalah 'Aqidah bersifat Yaqiniyyah yang hanya memerlukan sesuatu yang pasti (Qath'iy) .
Dalam hal ini, Kaum Mu'tazilah tidak menerima Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) di dalam masalah 'Aqidah, kecuali bila sealur dengan Akal/logika, baru dapat dijadikan argumentasi tetapi itupun hanya dalam rangka sebagai penegas/penguat bukan hujjah. Jika tidak demikian, maka khabar seperti itu ditolak dan dianggap bathil, kecuali bila mengandung interpretasi yang bukan dipaksa-paksakan. Teori berfikir kaum Mu'tazilah ini diamini oleh kebanyakan kaum Ahli Kalam (Mutakallimin) dari tokoh Asyâ'irah (Madzhab Asy'ariyyah) seperti Abu al-Ma'âliy al-Juwainiy dan al-Fakhr ar-Râziy.
  Ø   Bantahan Terhadap Pendapat Ini
Untuk membantah pendapat ini, cukup dengan menyatakan pernyataan sebelumnya bahwa Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) yang dipertegas dengan Qarâ`in (dalil-dalil penguat) dapat memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin) sebab alasan utama yang dijadikan pegangan oleh mereka yang menolak tersebut hanyalah : Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) tidak boleh dijadikan hujjah di dalam masalah-masalah 'Aqidah karena informasi yang diberikannya bersifat Zhanniy (tidak pasti) dan tidak dapat memberikan informasi ilmu.
  Ø   Argumentasi-Argumentasi Pendapat Ketiga (Madzhab Salaf) Di Dalam Masalah Ini
1. Membeda-bedakan antara masalah-masalah 'aqidah dan hukum di dalam berargumentasi dengan Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) merupakan perbuatan bid'ah (mengada-ada) yang tidak pernah dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu (Salaf). Bahkan biografi dan karya-karya tulis mereka menunjukkan hal yang amat kontras sama sekali dengan hal itu. Para shahabat, Tabi'in, Tabi'ut Tabi'in dan Ahl al-Hadits dan as-Sunnah masih senantiasa berhujjah dengan khabar-khabar seperti itu di dalam menetapkan masalah Shifat Allah, Qadar, Asmâ`, Hukum-hukum, dan lain sebagainya.
2. Adanya khabar-khabar (hadits-hadits) yang mutawatir dari Nabi SAW. tentang tindakan beliau mengirimkan para utusan dan Da'i beliau ke pelbagai pelosok negeri, demikian juga kepada para raja, kisra, kaisar dan selain mereka dalam rangka mendakwahi mereka kepada Allah. Sudah barang tentu, hal pertama yang disampaikan oleh mereka ketika itu adalah masalah 'Aqidah. Diantara indikasinya adalah sabda Nabi SAW. kepada Mu'adz bin Jabal ketika hendak mengutusnya ke negeri Yaman:
إنك تقدم على قوم أهل الكتاب، فليكن أول ما تدعوهم إليه عبادة الله -عز وجل- . وفي رواية : فادعهم إلى شهادة أن لا إله إلا الله ...""
Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan Ahli Kitab; maka hendaklah hal pertama yang engkau dakwahi/ajak mereka kepadanya (adalah) agar beribadah kepada Allah 'Azza Wa Jalla."
Di dalam riwayat yang lain,"…Maka, ajaklah mereka agar bersaksi bahwa Tiada Ilah (Tuhan) -yang haq disembah- selain Allah."
3. Membeda-bedakan antara masalah 'Aqidah dan Hukum di dalam berargumentasi dengan Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) pada dasarnya hanya berpijak pada kerangka berfikir bahwa: amal perbuatan tidak ada kaitannya dengan 'Aqidah dan 'Aqidah tidak ada kaitannya dengan hukum-hukum 'amaliyyah (praktis).
Kedua statement ini adalah Bathil dan termasuk bid'ah (hal yang diada-adakan) oleh Ahli Kalam. Islam justeru membawa hal yang amat kontras dengan itu semua; Tidak ada hukum yang bersifat 'amaliy (praktis) kecuali ia selalu berkaitan dengan dasar-dasar 'aqidah, yaitu Iman kepada Allah; bahwa Dia telah mengutus Rasul-Nya agar menyampaikan dari-Nya hukum ini; beriman akan kebenaran Rasul, amanahnya di dalam menyampaikan risalah kemudian beriman kepada konsekuensi-konsekuensi dari hukum 'amaliy tersebut yang berupa pahala atau dosa; kesengangan atau kesengsaraan. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta'ala dalam surat An-Nuur ayat 2:
"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah…"
Ayat diatas menunjukkan hukum 'amaliy, kemudian Allah Ta'ala berfirman :

"…jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akherat…" (Q.S. An-Nûur :2).
Jadi, (dalam penutup ayat ini) Allah Ta'ala mengaitkan hukum 'amaliy dengan 'aqidah beriman kepada Allah dan Hari Akhir[34].
Ø  Sekilas Tentang pandangan Imam Asy-Syafi'iy
Imam asy-Syâfi'iy dijuluki oleh kalangan Ahlu al-Hadîts sebagai Nâshir as-Sunnah (pembela as-Sunnah). Ini tentu saja merupakan penghargaan tertinggi terhadap sosok beliau dan bukan hanya sekedar simbol belaka. Sikap, ucapan dan karya-karya tulis beliau menjadi saksi untuk itu.
Dimasa hidup beliau, timbul bermacam-macam aliran keagamaan yang mayoritasnya selalu menyerang as-Sunnah. Mereka dapat dibagi menjadi tiga kelompok: Pertama, mengingkari as-Sunnah secara keseluruhan. Kedua, tidak menerima as-Sunnah kecuali bila semakna dengan al-Qur'an. Ketiga, menerima as-Sunnah yang mutawatir saja dan tidak menerima selain itu alias menolak Hadits Ahâd.
Beliau menyikapi ketiga kelompok tersebut dengan tegas; kelompok pertama dan kedua tersebut secara terang-terangan ingin merontokkan as-Sunnah dan tidak menganggapnya sebagai salah satu sumber utama hukum Islam yang bersifat independen sementara kelompok ketiga, tidak kurang dari itu.
Terhadap kelompok pertama, beliau menyatakan bahwa tindakan mereka tersebut amat berbahaya karena dengan begitu rukun Islam, seperti shalat, zakat, haji dan kewajiban-kewajiban lainnya menjadi tidak dapat dipahami bila hanya berpijak kepada makna global dari al-Qur'an kecuali dari makna secara etimologisnya saja. Demikian pula terhadap kelompok kedua, bahwa implikasinya sama saja dengan kelompok pertama. Sedangkan terhadap kelompok ketiga, beliau membantah pendapat mereka dengan argumentasi yang valid dan detail. Diantara bantahan tersebut adalah sebagai berikut:
  • Di dalam mengajak kepada Islam, Rasulullah mengirim para utusan yang jumlahnya tidak mencapai angka mutawatir. Maka bila memang angka mutawatir tersebut urgen sekali, tentu Rasulullah tidak merasa cukup dengan jumlah tersebut sebab pihak yang dituju oleh utusan tersebut juga memiliki hak untuk menolak mereka dengan alasan tidak dapat mempercayai dan mengakui berita yang dibawa oleh mereka.
  • Bahwa di dalam peradilan perdata dan pidana yang terkait dengan harta, darah dan nyawa harus diperkuat oleh dua orang saksi padahal yang menjadi landasannya adalah khabar (hadits) yang diriwayatkan oleh jumlah yang tidak mencapai angka mutawatir alias Hadits Ahâd tetapi meskipun demikian, asy-Syâri' (Allah Ta'ala) tetap mewajibkan hal itu.
  • Nabi SAW. membolehkan orang yang mendengar darinya untuk menyampaikan apa yang mereka dengar tersebut meskipun hanya oleh satu orang saja. Beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: "Mudah-mudahan Allah memperbaiki akhlaq dan derajat seseorang (seorang hamba) yang mendengar hadits dari kami lantas menghafalnya hingga menyampaikannya; (sebab) betapa banyak orang yang membawa ilmu (hanya berilmu dan tidak lebih ilmunya namun dia menghafal dan menyampaikannya) kepada orang yang lebih berilmu darinya dan betapa banyak orang yang membawa ilmu tetapi dia tidak berilmu (namun mendapatkan pahala menyampaikannya).”(H.R.Abu Daud)
  • Para shahabat menyampaikan hadits-hadits Rasulullah secara individu-individu dan tidak mensyaratkan harus diriwayatkan oleh orang yang banyak sekali.
Demikianlah diantara bantahan beliau di dalam menegaskan wajibnya menerima hadits Ahâd[35].  

  Ø   Fatwa Ulama Kontemporer
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimîn ditanya tentang orang yang menganggap hadits-hadits Ahâd tidak dapat dijadikan landasan dalam masalah 'aqidah menjawab:
"Tanggapan kami terhadap orang yang beranggapan bahwa hadits-hadits Ahad tidak dapat menjadi landasan dalam masalah 'aqidah dengan alasan ia hanya memberikan informasi secara zhann (tidak pasti) sedangkan masalah 'aqidah tidak dapat dilandasi oleh sesuatu yang bersifat zhann adalah bahwa pendapat semacam ini tidak tepat sebab dilandaskan kepada sesuatu yang tidak tepat pula”. Ini dapat dibuktikan dengan beberapa tinjauan:
  • Pendapat bahwa hadits Ahad hanya memberikan informasi secara zhann tidak dapat digeneralisir sebab ada banyak khabar/berita yang bersifat Ahâd (individuil) dapat memberikan informasi secara yakin, yaitu bila ada qarâ-in (dalil-dalil penguat) yang mendukung kebenarannya seperti ia telah diterima secara luas oleh umat. Contohnya, hadits yang diriwayatkan oleh 'Umar bin al-Khaththab ra. : "Sesungguhnya semua pekerjaan itu tergantung kepada niat". Ini merupakan khabar Ahâd, meskipun demikian kita tahu bahwa Nabi SAW. yang mengucapkannya. Statement seperti ini telah dianalisis oleh Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah, al-Hâfizh Ibnu Hajar, dan lainya.
  • Bahwa Nabi SAW. mengirimkan individu-individu (orang per-orang) guna mengajarkan permasalahan 'aqidah yang prinsipil (Ushûl al-'Aqîdah), yakni dua kalimat syahadat (Lâ ilâha illallâh, Muhammad Rasûlullâh) sedangkan pengiriman yang dilakukan oleh beliau merupakan hujjah yang tidak dapat ditolak. Indikatornya, beliau mengirimkan Mu'adz bin Jabal ke negeri Yaman. Mu'adz menganggap pengiriman dirinya sebagai hujjah yang tidak dapat ditolak oleh penduduk Yaman dan harus diterima.
  • Bila kita mengatakan bahwa masalah 'aqidah tidak dapat dilandaskan kepada khabar Ahâd, maka berarti bisa dikatakan pula bahwa al-Ahkâm al-'Amaliyyah (hukum-hukum yang terkait dengan perbuatan/aktivitas) tidak dapat juga dilandaskan kepada khabar Ahâd sebab al-Ahkâm al-'Amaliyyah selalu disertai oleh suatu 'aqidah bahwa Allah Ta'ala memerintahkan begini atau melarang begitu. Bila pendapat semacam ini (yang mengatakan bahwa al-Ahkâm al-'Amaliyyah tidak dapat juga dilandaskan kepada khabar Ahâd) diterima, tentu banyak sekali hukum-hukum syara' yang tidak berfungsi. Konsekuensinya, bila pendapat semacam ini harus ditolak, maka tentunya pendapat yang mengatakan bahwa masalah 'aqidah tidak dapat dilandaskan kepada khabar al-Ahâd harus ditolak pula karena tidak ada bedanya.
  • Bahwa Allah Ta'ala memerintahkan orang yang jahil/tidak tahu agar merujuk kepada pendapat Ahl al-'Ilm (ulama) terhadap salah satu permasalahan 'aqidah yang maha penting, yaitu tentang risalah. Allah Ta'ala berfirman: "Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui". (Q,S. An-Nahl: 43)… dan hal ini mencakup pertanyaan yang diajukan oleh individu atau kelompok.



BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Para ahli ulama mengelompokkan hadits dari segi kuantitas menjadi tiga bagian, yaitu hadits mutawatir, masyhur, dan ahad, ada juga yang membaginya hanya dua saja yaitu hadits mutawatir, dan ahad.
Hadits mutawatir adalah“suatu hadits yang dapat ditangkap panca indera dan diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan, mereka mustahil berkumpul dan bersepakat untuk dusta”.
Syarat hadits mutawatir adalah “hadits yang diriwayatkan dari kelompok ke kelompok pada tiap tataran (thabaqoh) dengan jumlah perawi yang banyak, sehingga akal menyatakan mustahil mereka sepakat untuk bohong, dan proses tersebut dapat diindera oleh panca indera”.
Menurut sebagian ulama, hadits mutawatir itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu mutawatir lafzhi dan mutawatir ma’nawiy.
Hadits masyhur adalah hadits yang memiliki sanad terbatas yang lebih dari dua atau sekurang-kurangnya diriwayatkan oleh tiga orang.
Hadits masyhur dari segi diterima atau ditolak, dibagi menjadi 3 bagian, yaitu shahih, hasan, dan dha’if.
Hadits Ahad adalah “hadits yang periwayatannya tidak mencapai jumlah banyak orang, hingga tidak mencapai mutawâtir.
Hadits Ahad yang ditinjau dari segi jumlah perawi dalam sanadnya, dibagi menjadi 3 macam, yaitu:
1.      Hadits gharib
2.      Hadits ‘aziz
3.      Hadits masyhur, disebut juga al-Mustafidh.
Faktor penentu  dan utama sebuah hadits dikategorikan shahih atau tidak adalah kualitas atau kredibilitas perawi, apakah dia seorang terpercaya (tsiqah) atau seorang tertuduh berdusta. Ketika satu hadits diriwayatkan oleh sedikit orang, atau katakan satu orang saja, ia tidak otomatis telah dikategorikan dha'if (lemah).
Dalam hal ini, Kaum Mu'tazilah tidak menerima Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) di dalam masalah 'Aqidah, kecuali bila sealur dengan Akal/logika, baru dapat dijadikan argumentasi tetapi itupun hanya dalam rangka sebagai penegas/penguat bukan hujjah.
Hujjah disinonimkan dengan kata burhan, yaitu argumentasi yang valid, sehingga dihasilkan kesimpulan yang dapat diyakini dan dipertanggungjawabkan akan kebenarannya. Hujjah terbagi kepada Hujjah ‘Aqliyyah (Argumentasi Rasional/Akal), dan Hujjah Naqliyyah (Argumentasi Dogmatikal/Doktrin).
Para pemegang pendapat kedua diatas, yang menyatakan bahwa Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) tidak memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin), melandasi pendapat mereka tersebut dengan kerangka berfikir : tidak boleh berhujjah dengannya di dalam masalah 'Aqidah karena masalah 'Aqidah bersifat Yaqiniyyah yang hanya memerlukan sesuatu yang pasti (Qath'iy) .

3.2     Saran
Saya sebagai pemakalah menyadari masih banyak kekurangan mengenai isi dari makalah ini, oleh karena itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran dari teman-teman semua agar makalah ini dapat ditulis dengan lebih baik lagi.











DAFTAR PUSTAKA

A.Qadir Hasan, Ilmu MUsthalah Hadits”, cet.VII,  Bandung: CV. Diponegoro, 1996.
Ahmad Muhammad Al-Syakir, Syarh Alfiyah Al-Suyuthi fi’ilm Al-Hadits, Beirut: Dar Al-Ma’rifat, tt.
Al-Muwaththa', Kitab Al-Qiblat, Bab Ma Ja'a fil Qiblah, juz 1, no. hadits 6.
Al Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Taqrib al-Nawawiy, cet.II, Tahqiq Abdul al-Wahab Abdul al-Latief, tahun 1385 H.
Abdul Qadir bin Thahir al-Baghdadi, Al-Farqu Baina al-Firaq, tahqiq Muhammad Muhyiddin, Dar al-Ma'rifah, 429 H.
Abu Bakar Muhammad bin Musa al-Hazimi, Syuruth al-A'immah al-Khamsah, komentar Syaikh Muhammad Zahid al-Kautsari, Maktabah al-Qudsi, Kairo, 1357 H.
Buletin an-Nur, tahun VI, No. 247/Jum'at I/Jumadil Ula 1421 H.
Ibnu Hazm al-Andalusi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Tahqiq Ahmad Syakir, Dar al-'Afaq al-Jadidah, Beirut, cet. pertama, tahun 1400 H, juz 1.

------------------------------------------, Tahqiq Ahmad Syakir, Dar al-'Afaq al-Jadidah, Beirut, cet. pertama, tahun 1400 H, juz 1,  Rif'at Fauzi, Tautsiq as-Sunnah.
Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi'i, Ar-Risalah, tahqiq Syaikh Ahmad Syakir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 150-204 H.

Imam Solihin, Hadits Ditinjau dari Kuantitas Perawinya, situs: http://musloemsejati. blogspot.com/2012/03/27/ hadits-ditinjau-dari-kuantitas-perawinya.html, diunggah hari Rabu 2 Oktober 2013.

Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, cet. 1, Malang: UIN-Malang Press, 2007.
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy,  Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, ed.3 , Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.

Munzier Suparta, Ilmu Hadits, ed. Revisi, Jakarta: Raja Grafindo, 2002.

Nuruddin ‘Itr, ‘Ulum Al-Hadits 2 (Manhaj An-Naqd Fii ‘Ulum Al-Hadits), cet. 1, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.

Syaikh Manna’Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, cet. 1, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005, penerj. Mifdhol Abdurrahman, Lc.

Zeid B. Smeer, Pengantar Studi Hadits Praktis, cet.1, Malang: UIN-Malang Press, 2008.

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid 1, Jakarta: UI Press, 1985.

Sofyan Efendi, Hadits Web: Kumpulan & Referensi Belajar Hadits, (http://opi. 110mb.com), dari situs: http://www.alsofwah.or.id/?pilih =lihathadits&id=50.
Syaikh 'Utsman 'Ali Hasan, Mashâdir al-Istidlâl 'Ala Masâ`il al-I'tiqâd.










[1] Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, (Malang: UIN-Malang Press, 2007), cet. 1, hlm. 29.
[2] A. Qadir Hasan, Ilmu MUsthalah Hadits”, (Banung: CV. Diponegoro, 1996), cet.VII, hlm. 24.
[3] Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy,  Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), ed.3, hlm. 153
[4] Pembagian inilah yang dipegangi oleh kebanyakan fuqaha dan ahli ushul, kebanyakan ahli hadits membagi dari jihat (segi) kemutawatiran dan tidaknya, kepada 2 saja: mutawatir dan ahad. Jenis masyhur mereka masukkan dalam ke dalam ahad, dan mereka ta’rifkan masyhur dengan ta’rif yang lain yaitu “hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, tetapi tidak sampai ke derajat mutawatir”.
[5] Mahmud Thahhan, ibid, hlm. 31.
[6] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: Raja Grafindo, 2002), ed. Revisi, hlm. 95.
[7] Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, (Malang: UIN-Malang Press, 2007), cet. 1, hlm. 31.
[8] Imam Solihin, Hadits Ditinjau dari Kuantitas Perawinya, situs: http://musloemsejati.blogspot.com/ 2012/03/27/ hadits-ditinjau-dari-kuantitas-perawinya.html, diunggah hari Rabu 2 Oktober 2013.
[9] Nuruddin ‘Itr, ‘Ulum Al-Hadits 2 (Manhaj An-Naqd Fii ‘Ulum Al-Hadits), (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), cet. 1, hlm. 198.
[10] Syaikh Manna’Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), penerj. Mifdhol Abdurrahman, Lc., cet. 1, hlm. 110.
[11] Zeid B. Smeer, Pengantar Studi Hadits Praktis, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), cet.1, hlm.39.
[12] Mahmud Thahhan, op. cit, hlm. 32.
[13] Al Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Taqrib al-Nawawiy, cet.II, Tahqiq Abdul al-Wahab Abdul al-Latief, tahun 1385 H.
[14] Ahmad Muhammad Al-Syakir, Syarh Alfiyah Al-Suyuthi fi’ilm Al-Hadits, (Beirut: Dar Al-Ma’rifat, tt), hlm. 46.
[15] Mahmud Thahhan, op. cit, hlm. 33, lihat juga Nuruddin al-‘Itr, op. cit, hlm. 199, Manna’ al-qaththan, op. cit, hlm.111.
[16] Munzier Suparta, op. cit, hlm. 101.
[17] Zeid B. Smeer, op. cit, hlm. 41.
[18] Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, op. cit, hlm. 156.
[19] Nuruddin ‘Itr, op. cit, hlm. 202-203.
[20] Mahmud Thahhan, op. cit, hlm. 37.
[21] Munzier Suparta, op. cit, hlm. 119.
[22] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1985),  jilid 1, hlm. 28-30.
[23] Ibnu Hazm al-Andalusi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Tahqiq Ahmad Syakir, Dar al-'Afaq al-Jadidah, Beirut, cet. pertama, tahun 1400 H, juz 1, hlm. 119; Rif'at Fauzi, Tautsiq as-Sunnah, hlm. 89).
[24] Abdul Qadir bin Thahir al-Baghdadi (429 H), Al-Farqu Baina al-Firaq, tahqiq Muhammad Muhyiddin, Dar al-Ma'rifah, hlm. 132, 143, dan 144.
[25] Ibnu Hazm al-Andalusi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Tahqiq Ahmad Syakir, Dar al-'Afaq al-Jadidah, Beirut, cet. pertama, tahun 1400 H, juz 1, hlm. 114.

[26] Abu Bakar Muhammad bin Musa al-Hazimi, Syuruth al-A'immah al-Khamsah, komentar Syaikh Muhammad Zahid al-Kautsari, Maktabah al-Qudsi, Kairo, 1357 H, hlm. 47.

[27] Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi'i (150-204 H), Ar-Risalah, tahqiq Syaikh Ahmad Syakir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hlm. 404.
[28] Al-Muwaththa', Kitab Al-Qiblat, Bab Ma Ja'a fil Qiblah, juz 1, hlm. 195, no. hadits 6.
[29] Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi'i (150-204 H), Ar-Risalah, tahqiq Syaikh Ahmad Syakir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hlm. 408.
[30] Seperti pada terjemahan Al-Qur'an bahasa Indonesia untuk Surah ke-21 Al-Anbiya: 24 "...Kul hatu burhana-kum..." artinya "...Katakanlah: "Unjukkanlah hujjahmu!.." http://quran.com/21/24.
[31] Penggabungan sunnah Khulafa al-Rosyidin ke dalan hujjah naqliyyah itu berdasarkan hadits “Berpeganglah dengan sunnahku dan sunnah khulafaur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk”. (HR. Abu Dawud, Turmudzi dan Ibn Hatim dari ayahnya). Juga hadits: “Maka hendaklah kamu berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah al-khulafa al-rasyidin sesudah aku”. (HR. Ahmad bin Hanbal).
[32] Buletin an-Nur, tahun VI, No. 247/Jum'at I/Jumadil ula 1421 H.
[33]Sofyan Efendi, Hadits Web: Kumpulan & Referensi Belajar Hadits, (http://opi.110mb.com), dari situs: http://www.alsofwah.or.id/?pilih=lihathadits&id=50

[34] Syaikh 'Utsman 'Ali Hasan, Mashâdir al-Istidlâl 'Ala Masâ`il al-I'tiqâd , Hal.42-48.
[35] Penggalan dari materi Buletin an-Nur, dengan tema: Imam asy-Syafi'iy; pembelaannya terhadap as-Sunnah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar