Senin, 30 Desember 2013

Ulumul Qur'an: Perumpamaan dalam Al-qur'an (Amtsalul Qur'an)



Makalah:
Amtsalul qur’an
(Disusun untuk memenuhi mata kuliah Ulumul Qur’an)

Disusun oleh:

Nama               : Radhiati, S.Pd
NIM                : 25131786-2
Konsentrasi     : Pendidikan Islam
Kelas/ Ruang   : B3/ A6         
Mata kuliah     : Ulumul Qur’an

Dosen pembimbing:
Dr. Hisyami Yazid, LC, MA.


PROGRAM PASCA SARJANA UIN AR-RANIRY
DARUSSALAM, BANDA ACEH
2013 

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
Yang membuat Alqur’an menjadi bentuk yang mengagumkan yaitu hakikatnya yang sama mengenai arti dan tujuan. Sighatnya itu dicetak dalam acuan yang baik sehingga menghadirkan orang kepada pemahaman-pemahaman dan mengkiaskannya kepada apa yang telah diketahui dengan yakin.
Tamsil (perumpamaan, membuat permisalan), merupakan kerangka yang dapat menampilkan makna-makna dalam bentuk yang hidup di dalam pikiran. Betapa banyak makna yang baik, dijadikan lebih indah, menarik dan mempesona oleh tamsil. Karena itulah, tamsil dianggap lebih dapat mendorong jiwa untuk menerima makna yang dimaksudkan, dan membuat akal merasa puas. Tamsil adalah salah satu metode Alqur’an dalam mengungkapkan berbagai penjelasan dan segi-segi kemukjizatannya[1].
Jauh sebelum ada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti saat ini, Alqur’an telah mendorong umat manusia untuk melakukan kajian terhadap seluruh alam ini berikut segala yang ada didalamnya, dengan ditampilkannya tamsil yang cukup banyak. Diantaranya adalah mengilustrasikan fenomena alam, karakter manusia, tingkah laku, status, amalan, siksa, pahala, dan ideology umat manusia selama hidup didalamnya. Semua ini adalah untuk kepentingan umat manusia, agar mereka sadar kalau kebenaran yang hakiki hanya datang dari Allah SWT. seperti firman-Nya dalam surat Az-Zumar ayat 27[2]:
وَلَقَدْ ضَرَبْنَا لِلنَّاسِ فِي هَذَا الْقُرْآنِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ﴿۲۷﴾
Artinya: “Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al Qur'an ini setiap macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran.”
            Tidak ada satu kitab pun didunia ini yang mampu membuat tamsil yang kesempurnaannya sebanding dengan Alqur’an, apalagi melebihi Alqur’an. Tamsil yang dibuat Alqur’an mampu menembus waktu dan tabir alam, yang bersifat rasional dan ilmiah.
            Namun, meski demikian masih banyak juga manusia yang tetap juga membantah isi dalam Alqur’an dan tidak mau mempercayainya, padahal kebenaran sudah benar-benar ada. Maka tepat sekali Alqur’an mengatakan bahwa manusia itu adalah makhluk yang paling banyak membantah. Seperti yang disebutkan dalam surat Al-Kahfi ayat  54:
وَلَقَدْ صَرَّفْنَا فِي هَذَا الْقُرْآنِ لِلنَّاسِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ وَكَانَ الإنْسَانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلَا ﴿۵٤﴾
Artinya:Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al Qur'an ini bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah” (Q.S. Al-Kahfi: 54).  
         Term al-Amtsal terdapat dalam ‘Ulum al-Qur’an, khususnya pengantar Ilmu Tafsir. Amtsal adalah “menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hal hukumnya dan mendekatkan sesuatu yang abstrak (ma’qul) dengan sesuatu yang inderawi (konkret)”. Sayyid Quthub mengatakan bahwa, amtsal dalam Alqur’an merupakan sarana untuk mengabarkan kondisi bangsa-bangsa pada masa lampau dan untuk mengabarkan akhlaknya yang sudah sirna[3].
         Oleh karena itu, penulis ingin membahas sedikit tentang “Amtsalul Qur’an”, semoga dengan tamsil-tamsil Alqur’an ini kita dapat mengambil pelajaran yang berharga yang dapat kita jadikan landasan dalam menjalani hidup didunia ini.

1.2  Rumusan Masalah
Yang menjadi rumusan masalah adalah:
1.      Apakah pengertian dari amtsal?
2.      Ada berapa macam/ jenis amtsal dalam Alqur’an?
3.      Apa sajakah faedah-faedah amtsal dalam Alqur’an?
4.      Bagaimana hukum membuat amtsal dengan Alqur’an?

1.3  Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui pengertian dan jenis-jenis amtsal, faedah-faedahnya serta membuat amtsal dalam Alqur’an. Sehingga nantinya kita dapat meningkatkan ketakwaan kepada Allah setelah melihat keagungan dan kekuasaan-Nya melalui pembahasan amtsal ini.

1.4  Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini supaya  penulis khususnya dan mahasiswa mahasiswi yang mengambil mata kuliah Ulumul Qur’an umumnya dapat mengetahui segala sesuatu yang berhubungan dengan amtsal qur’an, sehingga dapat menambah pengetahuan kita tentang ilmu-ilmu dalam Alqur’an serta tafsirnya.


  BAB II
PEMBAHASAN

Amtsal dalam Alqur’an mengandung makna tasybih, yaitu penyerupaan sesuatu dengan sesuatu yang serupa lainnya, dan membuat setara antara keduanya dalam hukum. Amtsal yang seperti ini lebih dari 40 (empat puluh) buah jumlahnya. Dalam Alqur’an, Allah menampilkan sejumlah amtsal dalam rangka menggugah akal manusia, diantaranya dalam surat Al-Hasyr ayat 21:
لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَتِلْكَ اْلأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ﴿الحشر:۲۱﴾
Artinya: “Kalau sekiranya Kami menurunkan Al Qur'an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir.”
Diriwayatkan dari Ali radiyallahu ‘anhu, Rasulullah SAW., bersabda:
Sesungguhnya Allah menurunkan Alqur’an sebagai pembawa perintah dan larangan, tradisi masa lalu dan perumpamaan sebagai gambaran dan contoh”.[4]
Tujuan dibuatnya perumpamaan (tamsil) dalam Alqur’an adalah agar manusia mau melakukan kajian terhadap kandungan Alqur’an, baik yang berkaitan dengan Ekosistem, Ekologi, Astronomi, Anatomi, Teologi, Biologi, Sosiologi, dan ilmu-ilmu lainnya, termasuk untuk mengambil pelajaran dari kejadian yang dialami oleh umat-umat yang lampau. Untuk melakukan kajian terhadap suatu masalah, seseorang itu harus berakal sehat dan berpengetahuan. Orang yang bisa memahami makna yang tersirat maupun yang tersurat dalam tamsil Alqur’an, hanyalah orang-orang yang berilmu dan orang yang mau menggunakan nalarnya. Seperti firman Allah dalam surat Al-‘Ankabuut ayat 43[5]:
وَتِلْكَ الأمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلاﱠ الْعَالِمُونَ ﴿٤۳﴾
Artinya: Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.”
              Maksud dari “memahami” disini adalah mengetahui tentang faedah dan pelajaran yang bisa diambil dari tamsil yang disajikan oleh Alqur’an tersebut, dan ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang berilmu.
              Sebagian ulama ada yang menulis kitab khusus tentang perumpamaan (amtsal) dalam Alqur’an, dan ada yang hanya membuat satu bab saja dalam salah satu kitab-kitabnya. Kelompok pertama, seperti, Abul Hasan Al Mawardi[6], sedangkan kelompok kedua diantaranya, As-Suyuthi dalam Al-Itqan, dan Ibnu Al-Qayyim dalam I’lam Al-Muwaqqi’in. Dalam Alqur’an, Allah mengemukakan bahwa Ia membuat sejumlah amtsal, diantaranya[7]:
وَلَقَدْ ضَرَبْنَا لِلنَّاسِ فِي هَذَا الْقُرْآنِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ ﴿الزومر:۲۷
               Artinya: “Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al Qur'an ini setiap macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran.” (Q.S. Az-Zumar:27).
               Dari Ali radiyallahu ‘anhu diriwayatkan, Rasulullah bersabda:
  Sesungguhnya Allah menurunkan Qur’an sebagai perintah dan larangan, tradisi yang telah lalu dan perumpamaan yang dibuat” (HR. Tirmidzi).
 

 
2.1  Pengertian Dari Amtsal
Secara bahasa amtsal adalah bentuk jamak dari matsal. Kata matsal, mitsal, dan matsil adalah sama dengan kata syabah, syibh, dan syabih, baik lafadz maupun maknanya, yang berarti perumpamaan, ibarat, tamsil, contoh, ‘ibrah, dan lain sebagainya. Menurut terminologinya ada tiga pengertian[8]:
1.   Menurut ulama ahli adab, amtsal berarti “Ucapan yang banyak mengumpamakan keadaan sesuatu, diceritakan dengan sesuatu yang dituju”.
2.   Menurut ulama ahli bayan, amtsal adalah “Ungkapan majaz yang disamakan dengan asalnya karena adanya persamaan (daam ilmu balaghah disebut tasybih).”
3.   Menurut ulama ahli tafsir, amtsal adalah “Menampakkan pengertian yang abstrak dalam ungkapan yang indah, singkat dan menarik, yang mengena dalam jiwa, baik dengan bentuk tasybih maupun majaz mursal.”
Dasar pengembangan ilmu amtsalul qur’an adalah hadits Rasul yang diriwayatkan oleh Baihaqi: “Sesungguhnya Alqur’an diturunkan atas lima cara, 1. Halal, 2. Haram, 3. Muhkam, 4. Mutasyabih, 5. Amtsal. Oleh karena itu pelajari yang halal dan hindari yang haram, ikuti yang muhkam dan berimanlah dengan mutasyabih, dan ambil pelajaran dari amtsal” (HR. Baihaqi).
Amtsal juga digunakan untuk mengungkapkan suatu keadaan dan kisah yang menakjubkan, dengan makna inilah lafadz amtsal ditafsirkan dalam banyak ayat[9]. Contohnya:
مَثَلُ الْجَنَّةِ الَّتِي وُعِدَ الْمُتَّقُونَ فِيهَا أَنْهَارٌ مِنْ مَاءٍ غَيْرِ آسِنٍ وَأَنْهَارٌ مِنْ لَبَنٍ لَمْ يَتَغَيَّرْ طَعْمُهُ وَأَنْهَارٌ مِنْ خَمْرٍ لَذَّةٍ لِلشَّارِبِينَ وَأَنْهَارٌ مِنْ عَسَلٍ مُصَفًّى وَلَهُمْ فِيهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ وَمَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ كَمَنْ هُوَ خَالِدٌ فِي النَّارِ وَسُقُوا مَاءً حَمِيمًا فَقَطَّعَ أَمْعَاءَهُمْ ﴿محمد : ۱۵
Artinya: “(Apakah) perumpamaan (penghuni) surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tiada berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar (arak) yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Tuhan mereka, sama dengan orang yang kekal dalam neraka dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya?.” (Q.S. Muhammad: 15).
Yaitu kisah dan sifatnya yang menjadikan surga itu menakjubkan.
Az-Zamakhsyari dalam Al-Kasysyaf, mengisyaratkan ada tiga makna terkait dalam matsal ini, katanya: “….Amtsal digunakan untuk menggambarkan sesuatu keadaan, sifat atau kisah yang menakjubkan, ada makna keempat yang dipakai oleh ulama bahasa Arab yaitu majaz murakkab (ungkapan metafora) yang memiliki hubungan yang serupa ketika digunakan. Asalnya adalah sebagai isti’arah tamtsiliyyah.”
            Ibnu Al-Qayyim dalam masalah amtsal dalam Alqur’an menjelaskan bahwa “Amtsal adalah menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum, mendekatkan yang rasional kepada yang inderawi, atau salah satu dari dua indera dengan yang lain karena adanya kemiripan.” Lebih lanjut beliau mengemukakan sejumlah contoh, yang sebagian besar contohnya berupa penggunaan tasyih sharih (penyerupaan yang jelas), diantaranya:
إِنَّمَا مَثَلُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الأرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ وَالأنْعَامُ حَتَّى إِذَا أَخَذَتِ الأرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَا أَتَاهَا أَمْرُنَا لَيْلا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَاهَا حَصِيدًا كَأَنْ لَمْ تَغْنَ بِالأمْسِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ﴿يونوس:۲٤﴾
Artinya: “Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berpikir.” (Q.S. Yunus: 24).
            Sebagian lagi berupa penggunaan tasybih dhimni (penyerupaan secara tidak tegas/ tidak langsung), contohnya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ﴿الحوجورات:۱۲
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Hujuraat: 12).
            Dikatakan dhimni karena dalam ayat ini tidak terdapat tasybih sharih.

Pendapat Ulama Tentang Amtsal Dalam Alqur’an[10]
      Riwayat yang diceritakan oleh Imam Al-Baihaqi dari Abu Hurairah yang berkata: “Rasulullah SAW, bersabda: Sesungguhnya Alqur’an itu turun dengan lima kandungan (pokok), yaitu halal, haram, muhkam, mutasyabih, dan amtsal. Maka kerjakanlah yang halal, jauhilah yang haram, ikuti yang muhkam, yakinilah yang mutasyabih, serta ambillah pelajaran dari amtsal (perumpamaan-perumpamaan).”
      Syekh Mawardi berpendapat, “Diantara disiplin ilmu Alqur’an yang paling besar yaitu amtsal qur’an. Sayangnya banyak manusia yang lalai dengan Alqur’an karena sibuk dengan al-amtsal dan lupa dengan al-matsulat (objek perumpamaan). Padahal perumpamaan tanpa pelaku bagaikan kuda tanpa kendali, atau seperti unta tanpa tali kekang.
Imam Syafi’ie berpendapat, diantara kewajiban seorang mujtahid adalah mengetahui seluk beluk Ulumul Qur’an. Kemudian Imam Syafi’ie berkata: “Dan wajib pula mengetahui seluk beluk amtsalul Qur’an yang menunjukkan jalan ta’at kepada perintah Allah dan menjauhi larangan-laranganNya”.
      Syekh Izzudien dan sebagian ulama berpendapat: “Allah menyatakan firmanNya dalam amtsal Qur’an karena banyak factor, diantaranya adalah agar manusia mengambil pelajaran dan nasehat, sebagai anjuran dan sugesti, sebagai larangan, ancaman, penjelasan, dan sebagainya. Adapun perumpamaan yang mengandung perbedaan pahala, kehancuran amal perbuatan, pujian, celaan, atau apapun yang sejenisnya menunjukkan adanya penetapan beberapa hukum (ahkam).”

2.2   Macam-macam Amtsal
Menurut ahli Balaghah, tamsil harus memenuhi beberapa ketentuan yaitu: bentuk kalimatnya ringkas, isi maknanya mengena dan tepat, perumpamaannya baik dan kinayahnya harus indah. Adapun rukun tamsil ada empat macam, yaitu[11]:
1.      Wajah syabah yaitu pengertian yang dapat dipahami dari perumpamaan tersebut, yang sama-sama ada pada musyabbah dan musyabbah bih.
2.      Adat tasybih, yaitu terdiri dari kaf, mitsl, kaana, dan semua lafadz yang menunjukkan perumpamaan.
3.      Musyabbah, yaitu subyek sasaran perumpamaan.
4.      Musyabbah bih, yaitu obyek yang dijadikan perumpamaan.
Syekh Jalaluddin As-Suyuthi membagi amtsal dalam Alqur’an menjadi dua macam, yaitu amtsal dzahir (jelas), dan amtsal khafiy (tersembunyi). Sedangkan Manna’ Al-Qathan membaginya menjadi tiga macam, yaitu amtsal musharrahah, amtsal kaminah, dan amtsal mursalah.
1)      Amtsal musharrahah, yaitu lafadznya jelas menggunakan kalimat mitsal atau sesuatu yang menunjukkan perumpamaan/ penyerupaan (tasybih). Amtsal seperti ini banyak ditemukan dalam Alqur’an, berikut beberapa contohnya:
a.       Firman Allah mengenai orang munafik:
مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَارًا فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لاﱠ يُبْصِرُونَ﴿۱۷﴾ صُمٌّﻣ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ﴿۱۸﴾ أَوْ كَصَيِّبٍ مِنَ السَّمَاءِ فِيهِ ظُلُمَاتٌ وَرَعْدٌ وَبَرْقٌ يَجْعَلُونَ أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ مِنَ الصَّوَاعِقِ حَذَرَ الْمَوْتِ وَاللَّهُ مُحِيطٌ بِالْكَافِرِينَ﴿۱٩﴾ يَكَادُ الْبَرْقُ يَخْطَفُ أَبْصَارَهُمْ كُلَّمَا أَضَاءَ لَهُمْ مَشَوْا فِيهِ وَإِذَا أَظْلَمَ عَلَيْهِمْ قَامُوا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَذَهَبَ بِسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ﴿۲٠﴾  ﴿البقرة:۱۷-۲٠﴾
Artinya: “(17) Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. (18) Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar). (19) atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir. (20) Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jika Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. Al-Baqarah: 17-20).
            Di dalam ayat ini Allah membuat dua perumpamaan (matsal) bagi orang munafik, matsal yang bekenaan dengan api (النار) dalam firmanNya “…adalah seperti orang yang menyalakan api…”, karena di dalam api terdapat unsur cahaya; dan matsal yang berkenaan dengan air (الماء), “…atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit…” karena di dalam air terdapat materi kehidupan. Wahyu yang turun dari langit pun bermaksud untuk menerangi hati dan menghidupkannya[12].
Allah juga menyebutkan kedudukan dan fasilitas orang munafik dalam dua keadaan. Di satu sisi mereka bagaikan orang yang menyalakan api untuk penerangan dan kemanfa’atan; mengingat mereka memperoleh kemanfa’atan materi dengan sebab masuk Islam. Namun di sisi lain Islam tidak memberikan pengaruh “nur”nya terhadap hati mereka karena Allah menghilangkan cahaya (nur) yang ada dalam api itu, “…Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka…” dan membiarkan unsur “membakar” yang ada padanya. Inilah perumpamaan mereka yang berkenaan dengan api.
            Mengenai matsal mereka yang berkenaan dengan air (الماء), Allah menyerupakan mereka dengan orang yang ditimpa hujan lebat yang disertai gelap gulita, guruh dan kilat, sehingga terkoyaklah kekuatan orang itu dan ia meletakkan jari jemari untuk menyumbat telinga serta memejamkan mata karena takut petir menimpanya. Ini mengingat bahwa Qur’an dengan segala peringatan, perintah, larangan, dan khithabnya bagi mereka tidak ubahnya dengan petir yang turun menyambar.

b.      Matsal الماء dan النار juga digunakan untuk menggambarkan yang haq dan yang bathil, dalam surat Ar-Ra’d ayat 17[13]:
أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا فَاحْتَمَلَ السَّيْلُ زَبَدًا رَابِيًا وَمِمَّا يُوقِدُونَ عَلَيْهِ فِي النَّارِ ابْتِغَاءَ حِلْيَةٍ أَوْ مَتَاعٍ زَبَدٌ مِثْلُهُ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الأرْضِ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ ﴿الرعد:۱۷﴾
Artinya: ”Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengembang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang batil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.” (Q.S. Ar-Ra’d: 17).
            Wahyu yang diturunkan Allah dari langit untuk menghidupkan hati diserupakan dengan air hujan yang diturunkannya untuk menghidupkan bumi dan tumbuh-tumbuhan. Hati diserupakan dengan lembah, arus air yang mengalir di lembah akan menghanyutkan buih dan sampah. Begitu pula hidayah dan ilmu bila mengalir di hati akan berpengaruh terhadap nafsu syahwat, dengan menghilangkannya. Inilah matsal الماء dalam firmanNya “Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit,…”. Demikianlah Allah membuat matsal bagi yang haq dan yang bathil.
            Mengenai matsal النار , dalam firmanNya “…Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api..”. Logam, baik emas, perak, tembaga, maupun besi,ketika dituangkan ke dalam api, maka api akan menghilangkan kotoran dan karat yang melekat padanya, memisahkannya dari substansi yang dapat dimanfa’atkan, sehingga karat itu hilang dengan sia-sia. Begitu pula syahwat akan dilemparkan dan dibuang dengan sia-sia oleh hati orang mukmin seperti arus air menghanyutkan sampah atau api yang melemparkan karat logam.
            Menurut As-Suyuthi[14], firman Allah “Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya,…”, Ibnu Abi Hatim meriwayatkan melalui jalur ‘Ali, dari Ibnu ‘Abbas yang berkata:”Ayat ini merupakan perumpamaan tentang hati yang mengemban (suatu beban) menurut ukuran keyakinan atau keraguannya. Dalam hal ini, ayat “…Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya…” merupakan sebuah perumpamaan tentang keraguan (syakk). Sedangkan ayat “…adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi” merupakan perumpamaan tentang keyakinan. Kemudian sebagaimana halnya perhiasan yang dimasukkan ke dalam api, yang murni akan diambil, sedangkan kerak atau kotorannya akan ditinggalkan dalam api; demikian pula Allah hanya akan menerima keyakinan dan akan meninggalkan keraguan.” Selanjutnya dalam sebuah riwayat, Imam ‘Atha’ menegaskan bahwa ayat tersebut mengandung perumpamaan yang dibuat oleh Allah bagi Mukmin dan kafir.
2)   Amtsal kaminah, yaitu perumpamaan yang tidak disebutkan dengan jelas (samar), atau yang didalamnya tidak disebutkan dengan jelas lafadz tamsil, tetapi ia menunjukkan makna yang indah, menarik, dalam redaksinya singkat padat, dan mempunyai pengarh tersendiri bila dipindahkan kepada yang serupa dengannya[15]. Contoh diantaranya:
A.    Ayat-ayat yang senada dengan suatu ungkapan اﻷمور الوسط خير (sebaik- baik urusan adalah pertengahannya), yaitu:
a).  Firman Allah mengenai sapi betina:
“…sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu;…” (Q.S. Al-Baqarah: 68).
b). FirmanNya tentang nafkah:
 Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (Q.S. Al-Furqaan:67).
c). FirmanNya mengenai shalat:
Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaulhusna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu". (Q.S. Al-Isra’: 110).
d) FirmanNya mengenai infaq:
Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. (Q.S. Al-Isra’: 29).
B.     Ayat yang senada dengan perkataan  الخبر كالمعاينة ليس (Kabar itu tidak sama dengan menyaksikan sendiri), seperti firman Allah tentang Ibrahim dalam surat Al-Baqarah ayat 260:
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati". Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu?". Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)"….”
C.     Ayat yang senada dengan perkataan  تدين تدان كما (Sebagaiman kamu telah menghutangkan, maka kamu akan dibayar), contohnya dalam surat An-Nisa’ ayat 123:
(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.”
D.    Ayat yang senada dengan perkataan لايلدغ المؤمن من جحر مرتين (Orang Mukmin tidak disengat dua kali dari lubang yang sama), contohnya firman Allah melalui lisan Ya’qub dalam surat Yusuf ayat 64:
Berkata Yakub: "Bagaimana aku akan mempercayakannya (Bunyamin) kepadamu, kecuali seperti aku telah mempercayakan saudaranya (Yusuf) kepada kamu dahulu?". Maka Allah adalah sebaik-baik Penjaga dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang.”
  
3)   Amtsal mursalah, yaitu kalimat-kalimat bebas yang tidak menggunakan lafadz tasybih secara jelas, tetapi kalimat-kalimat tersebut berlaku sebagai matsal. Beberapa contoh diantaranya:
a.    Q.S. Yusuf ayat 51:
قَالَتِ امْرَأَةُ الْعَزِيزِ الآنَ حَصْحَصَ الْحَقُّ
Artinya: “…Berkata istri Al Aziz: "Sekarang jelaslah kebenaran itu,
b.   Q.S. An-Najm ayat 58:
لَيْسَ لَهَا مِنْ دُونِ اللَّهِ كَاشِفَةٌ
Artinya:” Tidak ada yang akan menyatakan terjadinya hari itu selain Allah.”
c.    Q.S. Al-Maidah ayat 100:
قُلْ لَا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ فَاتَّقُوا اللَّهَ يَا أُولِي الألْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan."
d.   Dan banyak contoh-contoh lainnya.
Para ulama berbeda pendapat tentang ayat-ayat yang mereka namakan amtsal mursalah, apa atau bagaimanakah hukum mempergunakannya sebagai matsal?[16]
Pertama, sebagian ahli ilmu memandang hal demikian sebagai telah keluar dari adab Alquran. Berkata Ar-Razi ketika menafsirkan surat Al-Kafirun ayat 6:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ﴿٦﴾
Artinya: “Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku".
“Sudah menjadi tradisi orang, menjadikan ayat ini sebagai matsal (untuk membela, membenarkan perbuatannya) ketika ia meninggalkan agama, padahal hal demikian tidak dibenarkan. Sebab Allah menurunkan Alqur’an bukan untuk dijaikan matsal, tetapi untuk direnungkan dan diamalkan isi kandungannya.” Demikian menurut Ar-Razi.
            Kedua, ulama lain berpendapat, tak ada halangan bila seseorang mempergunakan Alqur’an sebagai matsal dalam keadaan sungguh-sungguh. Misalnya, ia merasa sangat sedih dan berduka karena tertimpa bencana, sedangkan sebab-sebab tersingkapnya bencana itu telah terputus dari manusia, lalu ia mengatakan:
لَيْسَ لَهَا مِنْ دُونِ اللَّهِ كَاشِفَةٌ﴿۵۸﴾
Artinya: “Tidak ada yang akan menyatakan terjadinya hari itu selain Allah.”  (Q.S. An-Najm: 58).
Atau ia diajak berbicara oleh penganut ajaran sesat yang berusaha membujuknya agar mengikuti ajaran mereka, maka ia menjawab: “Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku” (Q.S.Al-Kafirun: 6).
“Tetapi berdosa besar bagi seseorang yang dengan sengaja berpura-pura pandai lalu dia menggunakan Alqur’an sebagai matsal, sampai-sampai ia terlihat bagai sedang bersenda gurau.”[17]

2.3  Faedah-faedah Amtsal Dalam Alqur’an
Ada beberapa faedah-faedah mempelajari Amtsal dalam Alqur’an, antara lain:
1)      Menonjolkan/ menampilkan sesuatu yang ma’qul (yang hanya bsa dijangkau akal, abstrak) dalam bentuk konkrit yang dapat dirasakan indera manusia, sehingga akal mudah menerimanya, sebab pengertian-pengertian abstrak tidak akan tertanam dalam benak kecuali jika ia dituangkan dalam bentuk inderawi yang dekat dengan pemahaman. Misalnya, dalam surat Al-Baqarah ayat 264 Allah membuat perumpamaan bagi keadaan orang yang menafkahkan harta dengan riya’, dimana ia tidak akan mendapatkan pahala sedikitpun dari perbuatanya itu.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ﴿البقرة:۲٦٤﴾
Artinya: “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena ria kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”

2)      Dapat mengungkapkan kenyataan dan mengkonkritkan hal-hal yang abstrak.
3)      Mengumpulkan/ menghimpun makna yang menarik lagi indah dalam satu ungkapan yang singkat dan padat, seperti amtsal kaminah dan amtsal mursalah dalam ayat-ayat diatas.
4)      Mendorong orang yang diberi matsal untuk berbuat sesuai isi matsal, jika ia merupakan sesuatu yang disenangi jiwa. Misalnya, Allah membuat matsal bagi keadaan orang yang menafkahkan harta di jalan Allah, dimana hal itu akan memberikan kepadanya kebaikan yang banyak. Perumpamaan ini tertuang dalam surat Al-Baqarah ayat 261:
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ﴿البقرة:۲٦١﴾
Artinya: Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”

5)      Menjauhkan dan menghindarkan dari perbuatan tercela, jika isi matsal berupa sesuatu yang dibenci jiwa. Misalnya firman Allah tentang larangan bergunjing dalam surat Al-Hujurat ayat 12:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ﴿١۲﴾
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.”

6)      Untuk memuji orang yang diberi matsal. Seperti firman Allah tentang para sahabat dalam surat Al-Fath ayat 29:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الإنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا﴿۲٩﴾
Artinya: “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Demikianlah keadaan para sahabat, pada mulanya mereka hanya golongan minoritas, kemudian tumbuh berkembang hingga keadaannya semakin kuat dan mengagumkan hati karena kebesaran mereka.
7)      Dengan matsal tersebut, untuk menggambarkan sesuatu  yang mempunyai sifat yang dipandang buruk oleh orang banyak. Misalnya perumpaman tentang orang yang dikaruniai Kitabullah tetapi ia tersesat jalan hingga ia tidak mengamalkannya, diterangkan dalam surat Al-A’raaf ayat 175-176:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ﴿١۷۵﴾وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الأرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ﴿١۷٦﴾
Artinya: “(175) Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian dia melepaskan diri daripada ayat-ayat itu lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. (176) Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir.”

8)      Untuk memberikan rasa berkesan dan membekas dalam jiwa, karena amtsal lebih efektif dalam memberikan nasehat, lebih kuat dalam memberikan peringatan, dan lebih dapat memuaskan hati. Diantaranya, Allah banyak menyebut amtsal di dalam Alqur’an untuk peringatan dan  pelajaran. Allah berfirman dalam surat Az-Zumar ayat 27:
وَلَقَدْ ضَرَبْنَا لِلنَّاسِ فِي هَذَا الْقُرْآنِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ﴿۲۷﴾
Artinya: “Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al Qur'an ini setiap macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran.”
            Juga firman Allah dalam surat Al-‘Ankabuut ayat 43:
وَتِلْكَ الأمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلاﱠ الْعَالِمُونَ﴿٤۳﴾
Artinya: “Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.”

2.4  Membuat Amtsal/ Matsal Dengan Alqur’an
Para sastrawan biasa menggunakan matsal di tempat-tempat yang kondisinya serupa atau sesuai dengan isi matsal tersebut. Jika hal ini dibenarkan dalam ungkapan-ungkapan manusia, maka para ulama tidak menyukai penggunaan ayat-ayat Alqur’an sebagai matsal. Mereka tidak memandang perlu bahwa orang harus membacakan sesuatu ayat matsal dalam Kitabullah ketika ia menghadapi urusan duniawi. Hal ini demi menjaga keagungan Alqur’an dan kedudukannya dalam jiwa orang-orang mukmin. Kata Abu ‘Ubaid, “Demikianlah, seseorang yang ingin bertemu dengan sahabatnya atau ada kepentingan dengannya, tiba-tiba sahabat itu datang tanpa diminta, maka ia berkata kepadanya sambil bergurau:
جِئْتَ عَلَى قَدَرٍ يَا مُوسَى﴿طه:٤٠﴾
Artinya: “Kamu datang menurut waktu yang ditetapkan hai Musa.”
Perbuatan demikian merupakan penghinaan terhadap Alqur’an. Ibnu Syihab Az-Zuhri berkata, “Janganlah kamu menyerupakan (sesuatu) dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.” Maksudnya, kata Abu ‘Ubaid, janganlah kamu menjadikan bagi keduanya sesuatu perumpamaan, baik berupa ucapan maupun perbuatan.”


 BAB III
PENUTUP

3.1     Kesimpulan
Menurut ulama ahli tafsir, amtsal adalah “Menampakkan pengertian yang abstrak dalam ungkapan yang indah, singkat dan menarik, yang mengena dalam jiwa, baik dengan bentuk tasybih maupun majaz mursal.”
Amtsal dalam Alqur’an mengandung makna tasybih, yaitu penyerupaan sesuatu dengan sesuatu yang serupa lainnya, dan membuat setara antara keduanya dalam hukum.
Tujuan dibuatnya perumpamaan (tamsil) dalam Alqur’an adalah agar manusia mau melakukan kajian terhadap kandungan Alqur’an, termasuk untuk mengambil pelajaran dari kejadian yang dialami oleh umat-umat yang lampau.
Tidak ada satu kitab pun didunia ini yang mampu membuat tamsil yang kesempurnaannya sebanding dengan Alqur’an, apalagi melebihi Alqur’an. Tamsil yang dibuat Alqur’an mampu menembus waktu dan tabir alam, yang bersifat rasional dan ilmiah.
Syekh Jalaluddin As-Suyuthi membagi amtsal dalam Alqur’an menjadi dua macam, yaitu amtsal dzahir (jelas), dan amtsal khafiy (tersembunyi). Sedangkan Manna’ Al-Qathan membaginya menjadi tiga macam, yaitu amtsal musharrahah, amtsal kaminah, dan amtsal mursalah.
Faedah-faedah mempelajari amtsal Alqur’an, diantaranya: sebagai ungkapan pengertian yang abstrak dengan bentuk konkrit yang dapat ditangkap indera manusia, dapat mengungkapkan kenyataan daan mengkonkritkan hal-hal yang abstrak, dapat mengumpulkan makna-makna yang indah dan menarik dalam ungkapan yang singkat dan padat, mendorong agar giat dan rajin beramal serta melakukan hal-hal yang menarik dalam Alqur’an, menghindari dari perbuatan yang tercela, sebagai pujian atau celaan bagi yang diperumpamakan, dan untuk menciptakan rasa yang berkesan serta membekas dalam jiwa.
Para ulama tidak menyukai penggunaan ayat-ayat Alqur’an sebagai matsal. Mereka tidak memandang perlu bahwa orang harus membacakan sesuatu ayat matsal dalam Kitabullah ketika ia menghadapi urusan duniawi. Hal ini demi menjaga keagungan Alqur’an dan kedudukannya dalam jiwa orang-orang mukmin.
Dasar pengembangan ilmu amtsalul qur’an adalah hadits Rasul yang diriwayatkan oleh Baihaqi: “Sesungguhnya Alqur’an diturunkan atas lima cara, 1. Halal, 2. Haram, 3. Muhkam, 4. Mutasyabih, 5. Amtsal. Oleh karena itu pelajari yang halal dan hindari yang haram, ikuti yang muhkam dan berimanlah dengan mutasyabih, dan ambil pelajaran dari amtsal” (HR. Baihaqi).

3.2     Saran
Saya sebagai pemakalah menyadari masih banyak kekurangan mengenai isi dari makalah ini, oleh karena itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran dari dosen pembimbing khususnya, serta dari teman-teman semua agar makalah ini dapat ditulis dengan lebih baik lagi.

 DAFTAR PUSTAKA


Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu Alqur’an, Jakarta: Amzah, 2005.

Departemen Agama, Al-Hikmah: Alqur’an dan terjemahannya, Bandung: Diponegoro, 2005.

 Fuad Kauma, Tamsil Alqur’an: Memahami Pesan-pesan Moral dalam Ayat-ayat Tamsil, cet. 1, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000.

Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Alqur’an (Mabahits fi ‘Ulumul Qur’an), penerj. Mudzakir,AS., cet. 14, Bogor: Pustaka Litera Antarnusa, 2011.

Mana’ul Quthan, Pembahasan Ilmu Alqur’an 2, penerj. Halimuddn S.H., cet. 1, Jakarta: Rineka Cipta, 1995.
Muhammad Ibn ‘Alawi Al-Maliki Al-Hasani, Samudra Ilmu-ilmu Alqur’an: Ringkasan Kitab Al-Itqan Fi Ulum Alqur’an Karya Al-Imam Jalal Al-Din Al-Suyuthi, cet. 1, Bandung: Mizan Pustaka, 2003.

Muhammad Al-Khidr Husain, Balaghatul Qur’an.
Muhammad Shalahuddin Hamid, Study Ulumul Qur’an, Jakarta: Intimedia, 2002.

Sofyan Efendi, Hadits Web: Kumpulan & Referensi Belajar Hadits, (http://opi. 110mb.com), dari situs: http://www.alsofwah.or.id/?pilih =lihathadits&id=50.
Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Alqur’an, cet. 1, penerj. H. Aunur Rafiq El-Mazni, Lc., Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006.





                        



[1] Syaikh Manna’ Alqathan, Pengantar Studi Ilmu Alqur’an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), penerj. H. Aunur Rafiq El-Mazni, Lc., cet. 1, hlm. 352.
[2] Fuad Kauma, Tamsil Alqur’an: Memahami Pesan-pesan Moral dalam Ayat-ayat Tamsil, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000), cet. 1, hlm 5-6.
[3] Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu Alqur’an, (Jakarta: Amzah, 2005), hlm. 24.
[4] Syaikh Manna’ Alqathan, op. cit, 2006. hlm. 353.
[5] Fuad Kauma, op.cit., hlm. 3-4.
[6] Beliau adalah Abul Hasan Ali bin Habib Asy Syafi’i, penulis kitab Adab Ad-Dunya wa Ad-Din, dan Ahkam As-Shulthaniyyah. Wafat tahun 450 H.
[7] Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Alqur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antarnusa, 2011), penerj. Mudzakir,AS., cet. 14, hlm. 401.
[8] Muhammad Shalahuddin Hamid, Study Ulumul Qur’an, (Jakarta: Intimedia, 2002), hlm. 316.
[9] Syaikh Manna’ Alqathan, op. cit, 2006. hlm. 354-355.
[10] Muhammad Shalahuddin Hamid, op.cit. hlm. 316, dan Muhammad Ibn ‘Alawi Al-Maliki Al-Hasani, Samudra Ilmu-ilmu Alqur’an: Ringkasan Kitab Al-Itqan Fi Ulum Alqur’an Karya Al-Imam Jalal Al-Din Al-Suyuthi, (Bandung: Mizan Pustaka, 2003), cet.1, hlm. 246-247.
[11] Muhammad Shalahuddin Hamid, op.cit. hlm. 317.
[12] Manna’ Khalil Al-Qattan,op. cit., 2011, hlm. 405.

[13] Syaikh Manna’ Alqathan, op. cit, 2006. hlm. 357.
[14] Muhammad Ibn ‘Alawi Al-Maliki Al-Hasani, Samudra Ilmu-ilmu Alqur’an: Ringkasan Kitab Al-Itqan Fi Ulum Alqur’an Karya Al-Imam Jalal Al-Din Al-Suyuthi, (Bandung: Mizan Pustaka, 2003), cet.1, hlm. 249.
[15] Manna’ Khalil Al-Qattan,op. cit., 2011, hlm. 407.
[16] Manna’ Khalil Al-Qattan,op. cit., 2011, hlm. 408.
[17] Muhammad Al-Khidr Husain, Balaghatul Qur’an, hlm. 33.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar