Makalah:
KONSEP AKAL DAN WAHYU
DALAM ISLAM
(Disusun
untuk memenuhi mata kuliah Khazanah Pemikiran Dalam Islam)
Disusun
oleh:
Nama : Radhiati
NIM : 25131786-2
Konsentrasi : Pendidikan Islam
Kelas/ Ruang : B3/ A6
Mata kuliah : Khazanah Pemikiran Dalam Islam
Dosen
pembimbing:
Dr.
Muhammad Tantowi, MA.
PROGRAM PASCA SARJANA UIN AR-RANIRY
DARUSSALAM, BANDA ACEH
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Akal dan wahyu digunakan oleh manusia untuk
membahas ilmu pengetahuan. Akal digunakan manusia untuk bernalar. Sedangkan
wahyu digunakan sebagai pedoman dan acuan dalam berpikir. Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi merupakan salah satu hal yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan
manusia. Manusia membutuhkan ilmu pengetahuan karena pada dasarnya manusia
mempunyai suatu anugerah terbesar yang diberikan Allah SWT yaitu akal.
Sesungguhnya pengembangan ilmu pengetahuan dalam sejarah Islam
sesuai dengan perintah Alqur’an untuk mengamati alam dan mengunakan akal, yang
merupakan dua dasar metodologi sains. Perintah penggunaan akal sebagai dasar
kerasionalan ilmu dengan perintah mengamati alam sebagai dasar ilmu selalu
berjalan seiring, dan firman Allah juga selalu disertai pertanyaan “afala
ta’qilun (mengapa tidak kamu gunakan akalmu)” dan “afala tatafakkaruun
(mengapa tidak kamu pikirkan)[1],
seperti yang terdapat dalam surah Ali Imran ayat 190-191:
إِنَّ
فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ
لأولِي الألْبَابِ﴿١٩٠﴾
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ
قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ
السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ فَقِنَا
عَذَابَ النَّارِ ﴿١٩١ ﴾
Artinya: “(190). Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda
bagi orang-orang yang berakal; (191). (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami,
tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka”.
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang
paling sempurna. Hal yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah
akal. Manusia diberi kemampuan oleh Allah untuk berpikir. Akal yang dimiliki
manusia digunakan untuk memilih, mempertimbangkan, dan menentukan jalan
pikirannya sendiri. Dengan menggunakan akal, manusia mampu memahami Alqur’an yang
diturunkan sebagai wahyu oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan akal
pula, manusia mampu menelaah sejarah Islam dari masa ke masa dari masa lampau.
Akal juga digunakan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Tak dapat dipungkiri, bahwa akal mempunyai
kedudukan dalam wilayah agama, yang penting dalam hal ini, menentukan dan
menjelaskan batasan-batasan akal, sebab kita meyakini bahwa hampir semua kaum Muslim
berupaya dan berusaha mengambil manfaat akal dalam pengajaran agama dan
penjelasan keyakinan agama secara argumentatif.
Seperti yang kita ketahui, wahyu
adalah petunjuk yang diturunkan oleh Tuhan kepada manusia untuk membimbingnya
menuju kebenaran. Sedangkan akal adalah sesuatu yang dianugerahkan Tuhan kepada
manusia untuk digunakan berpikir menuju kebenaran. Karena keduanya berasal
dari satu Tuhan yang sama untuk satu tujuan yang sama pula yaitu kebenaran,
maka mustahil keduanya bertentangan. Sebab dua buah kebenaran tidak mungkin
bertentangan[2].
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Akal
a. Pengertian
Akal[3]
Kata akal sudah menjadi kata Indonesia,
berasal dari kata Arab al-‘Aql (العـقـل), yang dalam bentuk kata benda.
Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqaluuh (عـقـلوه) dalam 1 ayat, ta’qiluun (تعـقـلون) 24 ayat, na’qil (نعـقـل) 1 ayat, ya’qiluha (يعـقـلها) 1 ayat dan ya’qiluun (يعـقـلون) 22 ayat, kata-kata itu memiliki
arti faham dan mengerti. Maka dapat
diambil arti bahwa akal adalah peralatan manusia yang memiliki fungsi untuk
membedakan yang salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu yang kemampuannya
sangat luas.
Dalam pemahaman Prof. Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliyyah
dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence) yang
dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem-solving
capacity). Orang berakal, menurut pendapatnya adalah orang yang mempunyai
kecakapan untuk menyelesaikan masalah. Bagaimana pun kata ‘aqala
mengandung arti mengerti, memahami dan berfikir. Sedangkan Muhammad Abduh
berpendapat bahwa akal adalah: “Suatu daya yang hanya dimiliki manusia dan
oleh karena itu dialah yang membedakan manusia dari mahluk lain.”
Akal memiliki kedudukan yang penting
dalam ajaran Islam, bahkan dijadikan sebagai dasar dan sumber hukum setelah
Alquran dan Hadits. Akal sebagai dasar, disebut ar-ra'yu, yang dilakukan
melalui ijtihad. Dorongan penggunaan akal dalam Islam melahirkan kemajuan
peradaban Islam dalam berbagai bidang, terutama dalam hal perkembangan
kajian-kajian ilmu pengetahuan dan filsafat serta ilmu-ilmu keislaman, seperti
tafsir, fiqih, dan sebagainya.
1.
Tolak
ukur akan kebenaran dan kebatilan.
2.
Alat
untuk mencerna berbagai hal dan cara tingkah laku yang benar.
3.
Alat penemu solusi
ketika permasalahan datang.
Dan masih banyak lagi fungsi akal, karena
hakikat dari akal adalah sebagai mesin penggerak dalam tubuh yang mengatur
dalam berbagai hal yang akan dilakukan setiap manusia yang akan meninjau baik,
buruk dan akibatnya dari hal yang akan dikerjakan tersebut. Akal adalah jalan untuk memperoleh iman sejati, iman tidaklah sempurna
kalau tidak didasarkan pada akal, iman harus berdasar pada keyakinan, bukan
pada pendapat dan akallah yang menjadi sumber keyakinan pada Tuhan
Yang Maha Esa.
c. Kekuatan Akal
1.
Mengetahui
Tuhan dan sifat-sifat-Nya.
2.
Mengetahui
adanya kehidupan di akhirat.
3.
Mengetahui
bahwa kebahagiaan jiwa di akhirat bergantung pada mengenal Tuhan dan berbuat
baik, sedang kesengsaran tergantung pada tidak mengenal Tuhan dan pada
perbuatan jahat.
4.
Mengetahui
wajibnya manusia mengenal Tuhan.
5.
Mengetahui
kewajiban berbuat baik dan kewajiban pula menjauhi perbuatan jahat untuk
kebahagiannya di akhirat.
6.
Membuat
hukum-hukum yang membantu dalam melaksanakan kewajiban tersebut.
2.2. Wahyu
a.
Pengertian Wahyu
Kata wahyu berasal dari kata arab الوحي, dan al-wahy adalah kata
asli Arab dan bukan pinjaman dari bahasa asing, yang berarti
suara, api, dan kecepatan. Dan ketika al-wahyu berbentuk
masdar memiliki dua arti yaitu tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu wahyu
sering disebut sebuah pemberitahuan tersembunyi dan cepat kepada seseorang yang
terpilih tanpa seorangpun yang mengetahuinya. Sedangkan
ketika berbentuk maf’ul wahyu Allah terhadap
Nabi-Nya ini sering disebut Kalam
Allah
yang diberikan kepada Nabi.
Wahyu turun kepada nabi-nabi melalui tiga cara, yaitu
dimasukkan langsung ke dalam hati dalam bentuk ilham, dari belakang tabir, dan
melalui utusan dalam bentuk malaikat. Hal ini diungkapkan dalam firman Allah
swt. surah As-Syura ayat 42 yang artinya: "Tidak terjadi bahwa Allah
berbicara kepada manusia kecuali dengan wahyu, atau dari belakang tabir, atau
dengan mengirimkan seorang utusan, untuk mewahyukan apa yang Ia kehendaki
dengan seizin-Nya. Sungguh Ia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana." Wahyu
yang turun kepada Nabi Muhammad SAW. melalui cara yang ketiga, yaitu melalui
utusan dalam bentuk malaikat Jibril[4].
Menurut Muhammad Abduh dalam Risalatut
Tauhid berpendapat bahwa, “Wahyu adalah pengetahuan yang di dapatkan oleh
seseorang dalam dirinya sendiri disertai keyakinan bahwa semua itu datang dari
Allah SWT, baik melalui perantara maupun tanpa perantara, ataupun yang menjelma seperti suara yang masuk dalam telinga
ataupun lainya.”
Wahyu berfungsi memberi informasi bagi manusia. Yang dimaksud
memberi informasi disini yaitu wahyu memberi tahu manusia, bagaimana cara
berterima kasih kepada Tuhan, menyempurnakan akal tentang mana yang baik dan
yang buruk, serta menjelaskan perincian upah dan hukuman yang akan di terima
manusia di akhirat.
Sebenarnya wahyu secara tidak langsung adalah
senjata yang diberikan Allah kepada Nabi-Nya untuk melindungi diri dan pengikutnya dari
ancaman orang-orang yang tak menyukai keberadaanya. Dan sebagai bukti bahwa beliau adalah utusan sang pencipta yaitu
Allah SWT.
1.
Wahyu
ada karena ijin dari Allah, atau wahyu ada karena pemberian Allah.
2.
Wahyu
lebih condong melalui dua mukjizat yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
3.
Membuat
suatu keyakinan pada diri manusia.
4.
Untuk
memberi keyakinan yang penuh pada hati tentang adanya alam ghaib.
5.
Wahyu
turun melalui ucapan para nabi-nabi.
2.3. Kedudukan
Wahyu dan Akal Dalam Islam
Akal dalam pengertian Islam adalah daya berpikir yang
terdapat dalam jiwa manusia; daya, yang memperoleh pengetahuan dengan
memperhatikan alam sekitarnya. Pengertian inilah yang dikontraskan dengan wahyu
yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia.
Akal menjadi faktor utama yang menempatkan manusia pada
kedudukan yang lebih mulia dibandingkan makhluk Allah lainnya. Dengan akal,
manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga terwujud kebudayaan.
Alquran menempatkan akal pada posisi penting dengan
banyaknya ayat yang mendorong manusia menggunakan akalnya dalam berbagai
ungkapan antara lain dengan menggunakan kata madzara, tadabbara, tafakkara,
faqiha, tadzakkara, fahima, dan sebagainya. Ungkapan-ungkapan tersebut
mengandung isyarat penempatan akal sebagai faktor yang penting dalam kehidupan
seorang muslim. Akal membawa manusia kepada posisi subyek di tengah alam
semesta dan menempatkannya sebagai penguasa (khalifah) yang mampu mengelola dan
mendayagunakan alam.
Dalam
Islam, akal memiliki posisi yang sangat mulia. Meski demikian bukan berarti akal
diberi kebebasan tanpa batas dalam memahami agama. Islam memiliki aturan
untuk menempatkan akal sebagaimana mestinya. Bagaimanapun, akal yang sehat
akan selalu cocok dengan syariat Islam dalam permasalahan apapun. Dan wahyu baik
berupa Al-qur’an dan Hadits bersumber dari Allah SWT, pribadi Nabi Muhammad SAW
yang menyampaikan wahyu ini, memainkan peranan yang sangat penting dalam
turunnya wahyu. Wahyu merupakan perintah yang berlaku umum atas seluruh umat
manusia, tanpa mengenal ruang dan waktu, baik perintah itu disampaikan dalam
bentuk umum atau khusus. Apa yang dibawa oleh wahyu tidak ada yang bertentangan
dengan akal, bahkan ia sejalan dengan prinsip-prinsip akal. Wahyu itu merupakan
satu kesatuan yang lengkap, tidak terpisah-pisah.Wahyu itu menegakkan hukum
menurut kategori perbuatan manusia. baik perintah maupun larangan. Sesungguhnya
wahyu yang berupa Alqur’an dan As-sunnah turun secara berangsur-angsur dalam
rentang waktu yang cukup panjang.
Namun
tidak selalu mendukung antara wahyu dan akal, karena seiring perkembangan zaman
akal yang semestinya mempercayai wahyu adalah sebuah anugerah dari Allah
terhadap orang yang terpilih, terkadang mempertanyakan keaslian wahyu tersebut.
Apakah wahyu itu benar dari Allah ataukah hanya pemikiran seseorang yang
beranggapan semua itu wahyu. Seperti pendapat Abu Jabbar bahwa akal tak dapat
mengetahui bahwa upah untuk suatu perbuatan baik lebih besar dari pada upah
yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik lain, demikian pula akal tak
mengetahui bahwa hukuman untuk suatu perbuatan buruk lebih besar dari hukuman
untuk suatu perbuatan buruk yang lain. Semua itu hanya dapat diketahui dengan
perantaraan wahyu. Al-Jubbai berkata wahyulah yang menjelaskan perincian
hukuman dan upah yang akan diperoleh manusia di akhirat.[5]
Karena masalah akal dan wahyu dalam pemikiran kalam sering
dibicarakan dalam konteks, yang manakah diantara kedua akal dan wahyu itu yang
menjadi sumber pengetahuan manusia tentang Tuhan, tentang kewajiban manusia
berterima kasih kepada Tuhan, tentang apa yang baik dan yang buruk, serta
tentang kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk. Maka para
aliran Islam memiliki pendapat sendiri-sendiri antara lain:
1.
Aliran
Mu’tazilah sebagai penganut pemikiran kalam tradisional,
berpendapat bahwa akal mempunyai kemampuan mengetahui empat konsep tersebut.
2.
Sementara
itu aliran Maturidiyah Samarkand yang juga termasuk pemikiran
kalam tradisional, mengatakan juga (kecuali kewajiban menjalankan yang baik dan
yang buruk) akal mempunyai kemampuan mengetahui ketiga hal tersebut.
3.
Sebaliknya
aliran Asy’ariyah, sebagai penganut pemikiran kalam tradisional
juga berpendapat bahwa akal hanya mampu mengetahui tuhan sedangkan tiga hal
lainnya, yakni kewajiban berterima kasih kepada tuhan, baik dan buruk serta
kewajiban melaksanakan yang baik dan menghindari yang jahat diketahui manusia
berdasarkan wahyu.
4.
Sementara
itu aliran Maturidiyah Bukhara yang juga digolongkan kedalam
pemikiran kalam tradisional berpendapat bahwa dua dari keempat hal tersebut
yakni mengetahui Tuhan dan mengetahui yang baik dan buruk dapat diketahui dengan
akal, sedangkan dua hal lainnya yakni kewajiban berterima kasih kepada Tuhan serta
kewajiban melaksanakan yang baik serta meninggalkan yang buruk hanya dapat diketahui
dengan wahyu.
Adapun ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh paham Maturidiyah
Samarkand dan Mu’tazilah, dan terlebih lagi untuk menguatkan
pendapat mereka adalah surat Al – Ghaasyiyah ayat 17 dan surat Al - A’raaf
ayat 185:
أَفَلا يَنْظُرُونَ إِلَى الإبِلِ
كَيْفَ خُلِقَتْ﴿الغاشية:١۷﴾
Artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana
dia diciptakan.”
أَوَلَمْ
يَنْظُرُوا فِي مَلَكُوتِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ
شَيْءٍ وَأَنْ عَسَى أَنْ يَكُونَ قَدِ اقْتَرَبَ أَجَلُهُمْ فَبِأَيِّ حَدِيثٍ
بَعْدَهُ يُؤْمِنُونَ﴿اﻷعراف:١۸۵﴾
Artinya:
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan
langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah
dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman
selain kepada Alqur'an itu?”
2.4. Perbedaan Antara Akal Dengan Wahyu[6]
Ø Ciri
– Ciri Wahyu
1. Wahyu itu dibawa untuk memberi
hidayat dan petunjuk kepada manusia dalam hidup mereka.
2. Wahyu ialah sesuatu hakikat yang
mutlak, karena ia datang dari Allah, ia suci, benar dan terpelihara.
3. Wahyu dibawa sebagai penasihat
kepada manusia, tetapi kedatangannya bukanlah dengan kehendak atau permintaan
manusia.
4. Wahyu yang diturunkan juga
bukanlah supaya manusia menilai semua benar atau salah, tetapi penurunannya
supaya manusia mengikuti dan mematuhi segala perintah dengan penuh ketaatan.
5. Wahyu disampaikan kepada manusia
melalui perantaraan para nabi dan rasul.
6. Wahyu dapat menjelaskan dan menguraikan
persoalan yang tidak difikirkan atau tidak dapat dijelaskan oleh fikiran
manusia.
7. Wahyu itu tidak mungkin dapat
diubah dan tidak mungkin dapat dipindah.
8.
Wahyu tidak akan
diturunkan lagi setelah wafat Nabi Muhammad SAW.
Ø Ciri – Ciri Akal
1. Akal tidak mampu membawa
kebenaran yang mutlak, yaitu akal tidak dapat menjamin kebahagiaan hidup yang
mutlak kepada manusia, apalagi dalam persoalan akidah dan syara’.
2. Pertimbangan akal berubah menurut
keadaan, suasana, waktu, pengalaman dan lainnya.
3. Akal dan fikiran manusia tentang
sesuatu persoalan itu tidak akan berakhir dan tidak ada batasnya selagi manusia
itu hidup.
Kesimpulannya, wahyu mempunyai hubungan yang erat
dengan akal, karena wahyu menjelaskan apa yang tidak dapat dicapai oleh akal
seperti alam ghaib. Wahyu merupakan nur atau cahaya dan puncak untuk mencapai
hakikat kebenaran.
Ketika
masyarakat kota Mekkah sedang dilanda keterpurukan moral, dimana zaman
jahiliyyah pada saat itu telah membuat tatanan moral bobrok dan terpuruk.
Penindasan, perbudakan, diskriminasi, kerap mewarnai pemandangan kota Mekkah
pada waktu itu. Melihat keadaan penduduk Mekkah yang tidak bermoral, maka Nabi
Muhammad bersemedi (uzlah) ke gua Hira, merenung dan
memikirkan keadaan penduduk Mekkah yang semakin rusak prilakunya.
Setelah beberapa hari bersemedi (uzlah),
maka turunlah wahyu dari Tuhan berupa ayat Alquran. “Iqra” wahyu
pertama yang turun kepada Nabi Muhammad sebagai petunjuk hidup yang akan
merubah peradaban manusia. Setelah Nabi menerima wahyu yang pertama,
wahyu-wahyu selanjutnya turun secara bertahap dalam rangkaian ayat yang mampu
menjawab pelbagai macam masalah. Disini peranan wahyu begitu penting sebagai
petunjuk hidup manusia, wahyu sama sekali tidak akan pernah berfungsi jika
tidak digunakan dengan akal sehat, wahyu turun untuk disampaikan kepada mereka
yang berakal, sehingga dengan adanya wahyu akal berfungsi secara benar, bisa
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, wahyu sebagai petunjuk akal,
sebaliknya akal sebagai interpretasi penerapan wahyu secara benar.
Wahyu dan akal mempunyai peranan penting
sebagai petunjuk hidup manusia, bukan saja sebatas ritual keagamaan semata,
akan tetapi fungsi wahyu dan akal dapat digunakan lebih jauh dari sekedar itu.
Dengan wahyu dan akal kita berharap peranan agama akan semakin terasa menyejukkan,
jauh dari tindakan kekerasan, karena kita yakini mereka yang melakukan tindak
kekerasan sejatinya tidak memahami fungsi wahyu dan akal secara benar.
Islam merupakan salah satu agama yang sangat menjunjung
tinggi kebebasan berpikir, karena itulah Islam maju dengan pesat. Belajar dari
pengalaman Yunani, Ibnu Rusyd mengatakan,“Sesungguhnya akal tidak
bertentangan dengan wahyu. Dengan akal, wahyu dapat berfungsi menjawab
persoalan-persoalan yang ada, karena itu dengan akal dimensi ijtihad akan
semakin berkembang.” Beliau menganggap filsafat sebagai sesuatu yang
penting dalam ajaran Islam. Bahkan ia setuju kalau berpikir dianggap sebagai kewajiban
dalam agama. Hanya dengan cara tersebut umat Islam dapat mempertimbangkan
tindak-tanduknya agar menjadi relevan dengan spirit yang diusung oleh Alquran,
yaitu toleransi dan anti kekerasan. Manusia dihargai karena akal budinya.
Sebaliknya, manusia akan jatuh pada lubang kehinaan bilamana akal budinya
digantikan dengan kebencian, kebodohan, apalagi kekerasan.
Dalam khazanah pemikiran Islam klasik, ada golongan Sunni
yang dominan, dengan pandangan pokok bahwa kebaikan dan kejahatan itu haruslah
ditentukan oleh agama. Manusia baru akan mengetahui kebaikan dan kejahatan
setelah mendapatkan pengajaran dari agama. Golongan kedua adalah Mu’tazilah
yang memandang bahwa manusia dengan akalnya sendiri dapat mengetahui
batas-batas kebaikan dan kejahatan, batas-batas kepantasan, jika dikatakan akal
manusia dapat menentukan batas-batas tersebut, tidak berarti bahwa seluruh
batas itu sudah diketahui akal dari hari pertama. Akal manusia berkembang,
mengalami evolusi, dan akan makin matang. Setiap wahyu membawa suatu wawasan
tertentu mengenai yang baik dan yang jahat. Wahyu dapat mengangkat derajat
manusia yang lebih tinggi dan bermutu untuk dapat memahami batas-batas. Agar
wahyu itu bisa tetap eksis dan memperoleh integritasnya sebagai sumber
moralitas, maka diperlukan akal yang bertanggung jawab dan penuh integritas.
Jaminan wahyu dapat dipahami dengan tepat adalah integritas akal manusia itu
sendiri. Akal manusia merupakan partisipan yang aktif dalam menafsirkan ide-ide
ketuhanan yang terkandung di dalam wahyu.
Ibnu Rusyd menyebutkan bahwa belajar dan menggunakan akal
tidak dilarang dalam agama Islam, bahkan Alquran mengandung banyak ayat yang
menghimbau agar manusia menggunakan akalnya. Dalam rangka menghindari adanya
pertentangan antara akal dengan teks Alquran, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa
teks Alquran hendaknya dipahami secara mendalam untuk membuka maksud dan hikmah
yang terkandung di dalamnya. Kebebasan berpikir yang dikembangkan Ibnu Rusyd
bertujuan untuk mengantarkan manusia kepada sikap kritis menuju pencerahan
ijtihad, yakni membuka hikmah dibalik ajaran, firman, dan ciptaan-Nya. Dengan
menggunakan akal, manusia dapat menyibak suatu hukum yang terkandung dibalik
sebuah teks (an-nash).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Akal adalah peralatan manusia yang memiliki fungsi untuk membedakan
yang salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu yang kemampuannya sangat
luas.
Wahyu adalah firman Allah yang disampaikan kepada nabi-Nya baik
untuk dirinya sendiri maupun untuk disampaikan kepada umat.
Pengetahuan adalah hubungan subjek dan objek, sedangkan ilmu adalah
pengetahuan yang telah teruji secara ilmiah dan kebenarannya jelas.
Dengan
menggunakan akal, manusia mampu memahami Al-Qura’an yang diturunkan sebagai
wahyu oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan akal pula, manusia mampu
menelaah sejarah Islam dari masa ke masa dari masa lampau.
Akal dan wahyu digunakan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan bagi
umat manusia. Antara akal dan wahyu terdapat ruang dimana keduanya dapat
bertemu dan bahkan saling berinteraksi dan terdapat ruang dimana keduanya harus
berpisah. Sehingga hubungan antara akal dan wahyu tidak bertentangan akan
tetapi sangat berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya, bahkan
kedua-duanya saling menyempurnakan.
Ibnu Rusyd menyebutkan bahwa belajar dan menggunakan akal tidak
dilarang dalam agama Islam, bahkan Alquran mengandung banyak ayat yang
menghimbau agar manusia menggunakan akalnya.
Wahyu mempunyai hubungan yang erat dengan akal, karena
wahyu menjelaskan apa yang tidak dapat dicapai oleh akal seperti alam ghaib.
Wahyu merupakan nur atau cahaya dan puncak untuk mencapai hakikat kebenaran.
Seiring perkembangan zaman akal yang semestinya mempercayai wahyu
adalah sebuah anugrah dari Allah terhadap orang yang terpilih, terkadang
mempertanyakan keaslian wahyu tersebut.
Wahyu dan akal mempunyai peranan penting sebagai petunjuk hidup
manusia, bukan saja sebatas ritual keagamaan semata, akan tetapi fungsi wahyu
dan akal dapat digunakan lebih jauh dari sekedar itu.
DAFTAR PUSTAKA
Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta: UI
Press, 1986.
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, Jilid I, UI-Press, Jakarta, 1978.
Harun
Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan,
cet. 5, Jakarta: UI Press, 1986.
http://pahangcut.blogspot.com/2012/12/landasan-dan-klasifikasi-ilmu-ilmu.html,
diunggah hari Senin, 16 September 2013.
Igs Teenagers, http://eyesmil.blogspot.com/2012/04/perbezaan-antara-akal-dengan-wahyu.html, Wednesday 18 April 2012, diunggah hari Minggu 29 September 2013.
Kumpulan Makalah dan Artikel Islam, http://hikmah-kata.blogspot.com/2013/03/
kedudukan-akal-dan-wahyu-dalam-islam.html, diunggah hari minggu
29 september 2013.
Salamun Ali Mafaz, Wahyu dan
Akal Sebagai Petunjuk Hidup, http://sosbud.kompasiana.com/
2013/04/24/wahyu-dan-akal-sebagai-petunjuk-hidup-554463.html, diunggah hari Minggu 29 September 2013.
Sigit Budi Permana (CgeD), http://cgeduntuksemua.blogspot.com/2012/03/makalah-konsep-akal-dan-wahyu-dalam-islam.html, Senin 26 Maret 2012, diunggah hari Minggu 29 September 2013.
Sofyan Efendi, Alqur’an dan
Terjemahannya: Hadits Web (Kumpulan & Referensi Belajar Hadits), (http://opi. 110mb.com), dari situs: http://www.alsofwah.
or.id/?pilih =lihathadits&id=50.
[1] http://pahangcut.blogspot.com/2012/12/landasan-dan-klasifikasi-ilmu-ilmu.html, diunggah hari
Senin, 16 September 2013.
[2] Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam,
Jakarta: UI Press, 1986.
[3] Sigit Budi Permana (CgeD), http://cgeduntuksemua.blogspot.com/2012/03/makalah-konsep-akal-dan-wahyu-dalam-islam.html, Senin 26 Maret 2012, diunggah hari Minggu 29 September 2013.
[4]
Kumpulan Makalah dan Artikel Islam, http://hikmah-kata.blogspot.com/2013/03/
kedudukan-akal-dan-wahyu-dalam-islam.html, diunggah hari minggu
29 september 2013.
[5]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: UI Press, 1986), cet. 5, hlm. 79-84.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar