Rabu, 01 Januari 2014

Konsep Akal dan Wahyu dalam Khazanah Pemikiran Islam



Makalah:
KONSEP AKAL DAN WAHYU
DALAM ISLAM
(Disusun untuk memenuhi mata kuliah Khazanah Pemikiran Dalam Islam)

Disusun oleh:

Nama               : Radhiati
NIM                : 25131786-2
Konsentrasi     : Pendidikan Islam
Kelas/ Ruang   : B3/ A6         
Mata kuliah     : Khazanah Pemikiran Dalam Islam

Dosen pembimbing:
Dr. Muhammad Tantowi, MA.

PROGRAM PASCA SARJANA UIN AR-RANIRY
DARUSSALAM, BANDA ACEH
2013

BAB I
 PENDAHULUAN

Akal dan wahyu digunakan oleh manusia untuk membahas ilmu pengetahuan. Akal digunakan manusia untuk bernalar. Sedangkan wahyu digunakan sebagai pedoman dan acuan dalam berpikir. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi merupakan salah satu hal yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia. Manusia membutuhkan ilmu pengetahuan karena pada dasarnya manusia mempunyai suatu anugerah terbesar yang diberikan Allah SWT yaitu akal.
Sesungguhnya pengembangan ilmu pengetahuan dalam sejarah Islam sesuai dengan perintah Alqur’an untuk mengamati alam dan mengunakan akal, yang merupakan dua dasar metodologi sains. Perintah penggunaan akal sebagai dasar kerasionalan ilmu dengan perintah mengamati alam sebagai dasar ilmu selalu berjalan seiring, dan firman Allah juga selalu disertai pertanyaan “afala ta’qilun (mengapa tidak kamu gunakan akalmu)” dan “afala tatafakkaruun (mengapa tidak kamu pikirkan)[1], seperti yang terdapat dalam surah Ali Imran ayat 190-191:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأولِي الألْبَابِ﴿١٩٠﴾ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ  ﴿١٩١
Artinya: “(190). Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal; (191). (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna. Hal yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah akal. Manusia diberi kemampuan oleh Allah untuk berpikir. Akal yang dimiliki manusia digunakan untuk memilih, mempertimbangkan, dan menentukan jalan pikirannya sendiri. Dengan menggunakan akal, manusia mampu memahami Alqur’an yang diturunkan sebagai wahyu oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan akal pula, manusia mampu menelaah sejarah Islam dari masa ke masa dari masa lampau. Akal juga digunakan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Tak dapat dipungkiri, bahwa akal mempunyai kedudukan dalam wilayah agama, yang penting dalam hal ini, menentukan dan menjelaskan batasan-batasan akal, sebab kita meyakini bahwa hampir semua kaum Muslim berupaya dan berusaha mengambil manfaat akal dalam pengajaran agama dan penjelasan keyakinan agama secara argumentatif.
Seperti yang kita ketahui, wahyu adalah petunjuk yang diturunkan oleh Tuhan kepada manusia untuk membimbingnya menuju kebenaran. Sedangkan akal adalah sesuatu yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia untuk digunakan berpikir menuju kebenaran. Karena keduanya berasal dari satu Tuhan yang sama untuk satu tujuan yang sama pula yaitu kebenaran, maka mustahil keduanya bertentangan. Sebab dua buah kebenaran tidak mungkin bertentangan[2].

  BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Akal
a.  Pengertian Akal[3]
Kata akal sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘Aql (العـقـل), yang dalam bentuk kata benda. Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqaluuh (عـقـلوه) dalam 1 ayat, ta’qiluun (تعـقـلون) 24 ayat, na’qil (نعـقـل) 1 ayat, ya’qiluha (يعـقـلها) 1 ayat dan ya’qiluun (يعـقـلون) 22 ayat, kata-kata itu memiliki arti faham dan mengerti. Maka dapat diambil arti bahwa akal adalah peralatan manusia yang memiliki fungsi untuk membedakan yang salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu yang kemampuannya sangat luas.
Dalam pemahaman Prof. Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliyyah dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem-solving capacity). Orang berakal, menurut pendapatnya adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah. Bagaimana pun kata ‘aqala mengandung arti mengerti, memahami dan berfikir. Sedangkan Muhammad Abduh berpendapat bahwa akal adalah: “Suatu daya yang hanya dimiliki manusia dan oleh karena itu dialah yang membedakan manusia dari mahluk lain.”
Akal memiliki kedudukan yang penting dalam ajaran Islam, bahkan dijadikan sebagai dasar dan sumber hukum setelah Alquran dan Hadits. Akal sebagai dasar, disebut ar-ra'yu, yang dilakukan melalui ijtihad. Dorongan penggunaan akal dalam Islam melahirkan kemajuan peradaban Islam dalam berbagai bidang, terutama dalam hal perkembangan kajian-kajian ilmu pengetahuan dan filsafat serta ilmu-ilmu keislaman, seperti tafsir, fiqih, dan sebagainya.
b.      Fungsi Akal
1.         Tolak ukur akan kebenaran dan kebatilan.
2.         Alat untuk mencerna berbagai hal dan cara tingkah laku yang benar.
3.         Alat penemu solusi ketika permasalahan datang.
Dan masih banyak lagi fungsi akal, karena hakikat dari akal adalah sebagai mesin penggerak dalam tubuh yang mengatur dalam berbagai hal yang akan dilakukan setiap manusia yang akan meninjau baik, buruk dan akibatnya dari hal yang akan dikerjakan tersebut. Akal adalah jalan untuk memperoleh iman sejati, iman tidaklah sempurna kalau tidak didasarkan pada akal, iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat dan akallah yang menjadi sumber keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa.
c.       Kekuatan Akal
1.         Mengetahui Tuhan dan sifat-sifat-Nya.
2.         Mengetahui adanya kehidupan di akhirat.
3.         Mengetahui bahwa kebahagiaan jiwa di akhirat bergantung pada mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedang kesengsaran tergantung pada tidak mengenal Tuhan dan pada perbuatan jahat.
4.         Mengetahui wajibnya manusia mengenal Tuhan.
5.         Mengetahui kewajiban berbuat baik  dan kewajiban pula menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiannya di akhirat.
6.         Membuat hukum-hukum yang membantu dalam melaksanakan kewajiban tersebut.
2.2.  Wahyu
a.    Pengertian Wahyu
Kata wahyu berasal dari kata arab الوحي, dan al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan pinjaman dari bahasa asing, yang berarti suara, api, dan kecepatan. Dan ketika al-wahyu berbentuk masdar memiliki dua arti yaitu tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu wahyu sering disebut sebuah pemberitahuan tersembunyi dan cepat kepada seseorang yang terpilih tanpa seorangpun yang mengetahuinya. Sedangkan ketika berbentuk maf’ul wahyu Allah terhadap Nabi-Nya ini sering disebut Kalam Allah yang diberikan kepada Nabi.
Wahyu turun kepada nabi-nabi melalui tiga cara, yaitu dimasukkan langsung ke dalam hati dalam bentuk ilham, dari belakang tabir, dan melalui utusan dalam bentuk malaikat. Hal ini diungkapkan dalam firman Allah swt. surah As-Syura ayat 42 yang artinya: "Tidak terjadi bahwa Allah berbicara kepada manusia kecuali dengan wahyu, atau dari belakang tabir, atau dengan mengirimkan seorang utusan, untuk mewahyukan apa yang Ia kehendaki dengan seizin-Nya. Sungguh Ia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana." Wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad SAW. melalui cara yang ketiga, yaitu melalui utusan dalam bentuk malaikat Jibril[4].
Menurut Muhammad Abduh dalam Risalatut Tauhid berpendapat bahwa, Wahyu adalah pengetahuan yang di dapatkan oleh seseorang dalam dirinya sendiri disertai keyakinan bahwa semua itu datang dari Allah SWT, baik melalui perantara maupun tanpa perantara, ataupun yang menjelma seperti suara yang masuk dalam telinga ataupun lainya.”
b.      Fungsi wahyu
Wahyu berfungsi memberi informasi bagi manusia. Yang dimaksud memberi informasi disini yaitu wahyu memberi tahu manusia, bagaimana cara berterima kasih kepada Tuhan, menyempurnakan akal tentang mana yang baik dan yang buruk, serta menjelaskan perincian upah dan hukuman yang akan di terima manusia di akhirat.
Sebenarnya wahyu secara tidak langsung adalah senjata yang diberikan Allah kepada Nabi-Nya untuk melindungi diri dan pengikutnya dari ancaman orang-orang yang tak menyukai keberadaanya. Dan sebagai bukti bahwa beliau adalah utusan sang pencipta yaitu Allah SWT.
c.       Kekuatan wahyu
1.      Wahyu ada karena ijin dari Allah, atau wahyu ada karena pemberian Allah.
2.      Wahyu lebih condong melalui dua mukjizat yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
3.      Membuat suatu keyakinan pada diri manusia.
4.      Untuk memberi keyakinan yang penuh pada hati tentang adanya alam ghaib.
5.      Wahyu turun melalui ucapan para nabi-nabi.
2.3.  Kedudukan Wahyu dan Akal Dalam Islam
Akal dalam pengertian Islam adalah daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia; daya, yang memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya. Pengertian inilah yang dikontraskan dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia.
Akal menjadi faktor utama yang menempatkan manusia pada kedudukan yang lebih mulia dibandingkan makhluk Allah lainnya. Dengan akal, manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga terwujud kebudayaan.
Alquran menempatkan akal pada posisi penting dengan banyaknya ayat yang mendorong manusia menggunakan akalnya dalam berbagai ungkapan antara lain dengan menggunakan kata madzara, tadabbara, tafakkara, faqiha, tadzakkara, fahima, dan sebagainya. Ungkapan-ungkapan tersebut mengandung isyarat penempatan akal sebagai faktor yang penting dalam kehidupan seorang muslim. Akal membawa manusia kepada posisi subyek di tengah alam semesta dan menempatkannya sebagai penguasa (khalifah) yang mampu mengelola dan mendayagunakan alam.
Dalam Islam, akal memiliki posisi yang sangat mulia. Meski demikian bukan berarti akal diberi kebebasan tanpa batas dalam memahami agama. Islam memiliki aturan untuk menempatkan akal sebagaimana mestinya. Bagaimanapun, akal yang sehat akan selalu cocok dengan syariat Islam dalam permasalahan apapun. Dan wahyu baik berupa Al-qur’an dan Hadits bersumber dari Allah SWT, pribadi Nabi Muhammad SAW yang menyampaikan wahyu ini, memainkan peranan yang sangat penting dalam turunnya wahyu. Wahyu merupakan perintah yang berlaku umum atas seluruh umat manusia, tanpa mengenal ruang dan waktu, baik perintah itu disampaikan dalam bentuk umum atau khusus. Apa yang dibawa oleh wahyu tidak ada yang bertentangan dengan akal, bahkan ia sejalan dengan prinsip-prinsip akal. Wahyu itu merupakan satu kesatuan yang lengkap, tidak terpisah-pisah.Wahyu itu menegakkan hukum menurut kategori perbuatan manusia. baik perintah maupun larangan. Sesungguhnya wahyu yang berupa Alqur’an dan As-sunnah turun secara berangsur-angsur dalam rentang waktu yang cukup panjang.
Namun tidak selalu mendukung antara wahyu dan akal, karena seiring perkembangan zaman akal yang semestinya mempercayai wahyu adalah sebuah anugerah dari Allah terhadap orang yang terpilih, terkadang mempertanyakan keaslian wahyu tersebut. Apakah wahyu itu benar dari Allah ataukah hanya pemikiran seseorang yang beranggapan semua itu wahyu. Seperti pendapat Abu Jabbar bahwa akal tak dapat mengetahui bahwa upah untuk suatu perbuatan baik lebih besar dari pada upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik lain, demikian pula akal tak mengetahui bahwa hukuman untuk suatu perbuatan buruk lebih besar dari hukuman untuk suatu perbuatan buruk yang lain. Semua itu hanya dapat diketahui dengan perantaraan wahyu. Al-Jubbai berkata wahyulah yang menjelaskan perincian hukuman dan upah yang akan diperoleh manusia di akhirat.[5]
Karena masalah akal dan wahyu dalam pemikiran kalam sering dibicarakan dalam konteks, yang manakah diantara kedua akal dan wahyu itu yang menjadi sumber pengetahuan manusia tentang Tuhan, tentang kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan, tentang apa yang baik dan yang buruk, serta tentang kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk. Maka para aliran Islam memiliki pendapat sendiri-sendiri antara lain:
1.              Aliran Mu’tazilah sebagai penganut pemikiran kalam tradisional, berpendapat bahwa akal mempunyai kemampuan mengetahui empat konsep tersebut.
2.              Sementara itu aliran Maturidiyah Samarkand yang juga termasuk pemikiran kalam tradisional, mengatakan juga (kecuali kewajiban menjalankan yang baik dan yang buruk) akal mempunyai kemampuan mengetahui ketiga hal tersebut.
3.              Sebaliknya aliran Asy’ariyah, sebagai penganut pemikiran kalam tradisional juga berpendapat bahwa akal hanya mampu mengetahui tuhan sedangkan tiga hal lainnya, yakni kewajiban berterima kasih kepada tuhan, baik dan buruk serta kewajiban melaksanakan yang baik dan menghindari yang jahat diketahui manusia berdasarkan wahyu.
4.              Sementara itu aliran Maturidiyah Bukhara yang juga digolongkan kedalam pemikiran kalam tradisional berpendapat bahwa dua dari keempat hal tersebut yakni mengetahui Tuhan dan mengetahui yang baik dan buruk dapat diketahui dengan akal, sedangkan dua hal lainnya yakni kewajiban berterima kasih kepada Tuhan serta kewajiban melaksanakan yang baik serta meninggalkan yang buruk hanya dapat diketahui dengan wahyu.
Adapun ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh paham Maturidiyah Samarkand dan Mu’tazilah, dan terlebih lagi untuk menguatkan pendapat mereka adalah surat Al – Ghaasyiyah  ayat 17 dan surat Al - A’raaf   ayat 185:
أَفَلا يَنْظُرُونَ إِلَى الإبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ﴿الغاشية:١۷﴾
Artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan.”
أَوَلَمْ يَنْظُرُوا فِي مَلَكُوتِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ وَأَنْ عَسَى أَنْ يَكُونَ قَدِ اقْتَرَبَ أَجَلُهُمْ فَبِأَيِّ حَدِيثٍ بَعْدَهُ يُؤْمِنُونَ﴿اﻷعراف:١۸۵﴾
Artinya: “Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman selain kepada Alqur'an itu?”

2.4. Perbedaan Antara Akal Dengan Wahyu[6]

Ø Ciri – Ciri Wahyu
1.      Wahyu itu dibawa untuk memberi hidayat dan petunjuk kepada manusia dalam hidup mereka.
2.      Wahyu ialah sesuatu hakikat yang mutlak, karena ia datang dari Allah, ia suci, benar dan terpelihara.
3.      Wahyu dibawa sebagai penasihat kepada manusia, tetapi kedatangannya bukanlah dengan kehendak atau permintaan manusia.
4.      Wahyu yang diturunkan juga bukanlah supaya manusia menilai semua benar atau salah, tetapi penurunannya supaya manusia mengikuti dan mematuhi segala perintah dengan penuh ketaatan.
5.      Wahyu disampaikan kepada manusia melalui perantaraan para nabi dan rasul.
6.      Wahyu dapat menjelaskan dan menguraikan persoalan yang tidak difikirkan atau tidak dapat dijelaskan oleh fikiran manusia.
7.      Wahyu itu tidak mungkin dapat diubah dan tidak mungkin dapat dipindah.
8.      Wahyu tidak akan diturunkan lagi setelah wafat Nabi Muhammad SAW.
Ø  Ciri – Ciri Akal
1.      Akal tidak mampu membawa kebenaran yang mutlak, yaitu akal tidak dapat menjamin kebahagiaan hidup yang mutlak kepada manusia, apalagi dalam persoalan akidah dan syara’.
2.      Pertimbangan akal berubah menurut keadaan, suasana, waktu, pengalaman dan lainnya.
3.      Akal dan fikiran manusia tentang sesuatu persoalan itu tidak akan berakhir dan tidak ada batasnya selagi manusia itu hidup.
Kesimpulannya, wahyu mempunyai hubungan yang erat dengan akal, karena wahyu menjelaskan apa yang tidak dapat dicapai oleh akal seperti alam ghaib. Wahyu merupakan nur atau cahaya dan puncak untuk mencapai hakikat kebenaran.  
2.5. Wahyu Dan Akal Sebagai Petunjuk Hidup[7]
            Ketika masyarakat kota Mekkah sedang dilanda keterpurukan moral, dimana zaman jahiliyyah pada saat itu telah membuat tatanan moral bobrok dan terpuruk. Penindasan, perbudakan, diskriminasi, kerap mewarnai pemandangan kota Mekkah pada waktu itu. Melihat keadaan penduduk Mekkah yang tidak bermoral, maka Nabi Muhammad bersemedi (uzlah) ke gua Hira, merenung dan memikirkan keadaan penduduk Mekkah yang semakin rusak prilakunya.
Setelah beberapa hari bersemedi (uzlah), maka turunlah wahyu dari Tuhan berupa ayat Alquran. “Iqra” wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad sebagai petunjuk hidup yang akan merubah peradaban manusia. Setelah Nabi menerima wahyu yang pertama, wahyu-wahyu selanjutnya turun secara bertahap dalam rangkaian ayat yang mampu menjawab pelbagai macam masalah. Disini peranan wahyu begitu penting sebagai petunjuk hidup manusia, wahyu sama sekali tidak akan pernah berfungsi jika tidak digunakan dengan akal sehat, wahyu turun untuk disampaikan kepada mereka yang berakal, sehingga dengan adanya wahyu akal berfungsi secara benar, bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, wahyu sebagai petunjuk akal, sebaliknya akal sebagai interpretasi penerapan wahyu secara benar.
Wahyu dan akal mempunyai peranan penting sebagai petunjuk hidup manusia, bukan saja sebatas ritual keagamaan semata, akan tetapi fungsi wahyu dan akal dapat digunakan lebih jauh dari sekedar itu. Dengan wahyu dan akal kita berharap peranan agama akan semakin terasa menyejukkan, jauh dari tindakan kekerasan, karena kita yakini mereka yang melakukan tindak kekerasan sejatinya tidak memahami fungsi wahyu dan akal secara benar.
Islam merupakan salah satu agama yang sangat menjunjung tinggi kebebasan berpikir, karena itulah Islam maju dengan pesat. Belajar dari pengalaman Yunani, Ibnu Rusyd mengatakan,“Sesungguhnya akal tidak bertentangan dengan wahyu. Dengan akal, wahyu dapat berfungsi menjawab persoalan-persoalan yang ada, karena itu dengan akal dimensi ijtihad akan semakin berkembang.” Beliau menganggap filsafat sebagai sesuatu yang penting dalam ajaran Islam. Bahkan ia setuju kalau berpikir dianggap sebagai kewajiban dalam agama. Hanya dengan cara tersebut umat Islam dapat mempertimbangkan tindak-tanduknya agar menjadi relevan dengan spirit yang diusung oleh Alquran, yaitu toleransi dan anti kekerasan. Manusia dihargai karena akal budinya. Sebaliknya, manusia akan jatuh pada lubang kehinaan bilamana akal budinya digantikan dengan kebencian, kebodohan, apalagi kekerasan.
Dalam khazanah pemikiran Islam klasik, ada golongan Sunni yang dominan, dengan pandangan pokok bahwa kebaikan dan kejahatan itu haruslah ditentukan oleh agama. Manusia baru akan mengetahui kebaikan dan kejahatan setelah mendapatkan pengajaran dari agama. Golongan kedua adalah Mu’tazilah yang memandang bahwa manusia dengan akalnya sendiri dapat mengetahui batas-batas kebaikan dan kejahatan, batas-batas kepantasan, jika dikatakan akal manusia dapat menentukan batas-batas tersebut, tidak berarti bahwa seluruh batas itu sudah diketahui akal dari hari pertama. Akal manusia berkembang, mengalami evolusi, dan akan makin matang. Setiap wahyu membawa suatu wawasan tertentu mengenai yang baik dan yang jahat. Wahyu dapat mengangkat derajat manusia yang lebih tinggi dan bermutu untuk dapat memahami batas-batas. Agar wahyu itu bisa tetap eksis dan memperoleh integritasnya sebagai sumber moralitas, maka diperlukan akal yang bertanggung jawab dan penuh integritas. Jaminan wahyu dapat dipahami dengan tepat adalah integritas akal manusia itu sendiri. Akal manusia merupakan partisipan yang aktif dalam menafsirkan ide-ide ketuhanan yang terkandung di dalam wahyu.
Ibnu Rusyd menyebutkan bahwa belajar dan menggunakan akal tidak dilarang dalam agama Islam, bahkan Alquran mengandung banyak ayat yang menghimbau agar manusia menggunakan akalnya. Dalam rangka menghindari adanya pertentangan antara akal dengan  teks Alquran, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa teks Alquran hendaknya dipahami secara mendalam untuk membuka maksud dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Kebebasan berpikir yang dikembangkan Ibnu Rusyd bertujuan untuk mengantarkan manusia kepada sikap kritis menuju pencerahan ijtihad, yakni membuka hikmah dibalik ajaran, firman, dan ciptaan-Nya. Dengan menggunakan akal, manusia dapat menyibak suatu hukum yang terkandung dibalik sebuah teks (an-nash).

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Akal adalah peralatan manusia yang memiliki fungsi untuk membedakan yang salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu yang kemampuannya sangat luas.
Wahyu adalah firman Allah yang disampaikan kepada nabi-Nya baik untuk dirinya sendiri maupun untuk disampaikan kepada umat.
Pengetahuan adalah hubungan subjek dan objek, sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang telah teruji secara ilmiah dan kebenarannya jelas.
Dengan menggunakan akal, manusia mampu memahami Al-Qura’an yang diturunkan sebagai wahyu oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan akal pula, manusia mampu menelaah sejarah Islam dari masa ke masa dari masa lampau.
Akal dan wahyu digunakan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan bagi umat manusia. Antara akal dan wahyu terdapat ruang dimana keduanya dapat bertemu dan bahkan saling berinteraksi dan terdapat ruang dimana keduanya harus berpisah. Sehingga hubungan antara akal dan wahyu tidak bertentangan akan tetapi sangat berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya, bahkan kedua-duanya saling menyempurnakan.
Ibnu Rusyd menyebutkan bahwa belajar dan menggunakan akal tidak dilarang dalam agama Islam, bahkan Alquran mengandung banyak ayat yang menghimbau agar manusia menggunakan akalnya.
Wahyu mempunyai hubungan yang erat dengan akal, karena wahyu menjelaskan apa yang tidak dapat dicapai oleh akal seperti alam ghaib. Wahyu merupakan nur atau cahaya dan puncak untuk mencapai hakikat kebenaran.
Seiring perkembangan zaman akal yang semestinya mempercayai wahyu adalah sebuah anugrah dari Allah terhadap orang yang terpilih, terkadang mempertanyakan keaslian wahyu tersebut.
Wahyu dan akal mempunyai peranan penting sebagai petunjuk hidup manusia, bukan saja sebatas ritual keagamaan semata, akan tetapi fungsi wahyu dan akal dapat digunakan lebih jauh dari sekedar itu.


 
 DAFTAR PUSTAKA

Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta: UI Press, 1986.

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, UI-Press, Jakarta, 1978.

Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, cet. 5, Jakarta: UI Press, 1986.


Igs Teenagers, http://eyesmil.blogspot.com/2012/04/perbezaan-antara-akal-dengan-wahyu.html, Wednesday 18 April 2012, diunggah hari Minggu  29 September 2013.

Kumpulan Makalah dan Artikel  Islam, http://hikmah-kata.blogspot.com/2013/03/ kedudukan-akal-dan-wahyu-dalam-islam.html, diunggah hari minggu  29 september 2013.
Salamun Ali Mafaz, Wahyu dan Akal Sebagai Petunjuk Hidup, http://sosbud.kompasiana.com/ 2013/04/24/wahyu-dan-akal-sebagai-petunjuk-hidup-554463.html, diunggah hari Minggu  29 September 2013.

Sigit Budi Permana (CgeD), http://cgeduntuksemua.blogspot.com/2012/03/makalah-konsep-akal-dan-wahyu-dalam-islam.html, Senin 26 Maret 2012,  diunggah hari Minggu  29 September 2013.

Sofyan Efendi, Alqur’an dan Terjemahannya: Hadits Web (Kumpulan & Referensi Belajar Hadits), (http://opi. 110mb.com), dari situs: http://www.alsofwah. or.id/?pilih =lihathadits&id=50.

 




[2] Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta: UI Press, 1986.

[3] Sigit Budi Permana (CgeD), http://cgeduntuksemua.blogspot.com/2012/03/makalah-konsep-akal-dan-wahyu-dalam-islam.html, Senin 26 Maret 2012,  diunggah hari Minggu  29 September 2013.


[4] Kumpulan Makalah dan Artikel  Islam, http://hikmah-kata.blogspot.com/2013/03/ kedudukan-akal-dan-wahyu-dalam-islam.html, diunggah hari minggu  29 september 2013.

[5] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. 5, hlm. 79-84.

[6] Igs Teenagers, http://eyesmil.blogspot.com/2012/04/perbezaan-antara-akal-dengan-wahyu.html, Wednesday 18 April 2012, diunggah hari Minggu  29 September 2013.


[7] Salamun Ali Mafaz, Wahyu dan Akal Sebagai Petunjuk Hidup, http://sosbud.kompasiana.com/ 2013/04/24/wahyu-dan-akal-sebagai-petunjuk-hidup-554463.html, diunggah hari Minggu  29 September 2013.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar